Karena Rakyat Berhak Cerewet
7 mins read

Karena Rakyat Berhak Cerewet

Memperkuat Akuntabilitas Horizontal dengan Vertikal Kerakyataan

Akuntabilitas selama ini terkesan lebih menekankan pemenuhan kewajiban horizontal ke sesama lembaga negara. Pada saat era masyarakat terbuka, akuntabilitas kepada rakyat tak terhindarkan. Mengapa rakyat berhak ”cerewet”? Berikut uraian peneliti JPIP, Rosdiansyah.

LEMBAGA negara, mau tak mau, kini harus terbuka kepada warga masyarakat. Zaman sudah berubah, era telah berganti. Jika dulu betapa sulit mengetahui apa yang dikerjakan lembaga-lembaga negara seperti BPK, dan sejenisnya, kini zaman keterbukaan justru menghendaki lembaga tersebut memberikan informasi kepada masyarakat luas. Tidak boleh lagi ada ketertutupan atau menutup diri dari keingintahuan masyarakat. Sebab, rasa ingin tahu itu sendiri sebenarnya me rupakan wujud sense of belonging masyarakat kepada lembaga negara.

Selama 14 tahun setelah reformasi 1998, perubahan pada ketatanegaraan dan politik pemerintahan sudah berlangsung menuju ke arah lebih baik. Ini ditandai dengan dibentuknya sejumlah lembaga di tingkat negara yang bisa diharapkan menjamin terselenggaranya akuntabilitas bukan saja kepada sesama lembaga negara atau pemerintahan, melainkan juga kepada masyarakat luas. Pada era keterbukaan ini pula terjadi perubahan orientasi akuntabilitas secara vertikal maupun horizontal.

Lembaga seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) yang selama ini lebih banyak diketahui memberikan laporan kepada presiden boleh saja diartikan jalur akuntabilitasnya secara vertikal mengarah ke atas. Padahal, ada dua alasan penting untuk mendorong UKP4 agar juga meretas jalur akuntabilitas ke bawah, yakni ke masyarakat luas.

Alasan pertama, UKP4 merupakan lembaga yang dianggarkan dalam APBN. Sedangkan pemasukan APBN, seperti pernah disebut dalam rubrik ini, lebih dari 70 persen berasal dari pajak. Semakin wajibnya negara bersikap terbuka menunjukkan kinerja juga diungkapkan Ketua MK Prof Dr Mahfud M.D. dalam sebuah seminar di Jogja baru-baru ini. Wajar saja jika UKP4 kemudian perlu memberikan informasi kepada khalayak luas ihwal apa saja yang telah dilakukan selama ini.

Alasan kedua, jalur akuntabilitas ke masyarakat luas akan menepis semua prasangka pada UKP4 sekaligus memenuhi amanah UU Keterbukaan Informasi Publik. Masyarakat yang kian tahu apa saja yang sudah dikerjakan UKP4 tentu akan meningkat pemahamannya terhadap lembaga satu ini, yang pada gilirannya akan mengikis semua dugaan miring bahwa lembaga tersebut sekadar dekorasi dalam pemerintahan.

Tentu saja UKP4 sendiri membutuhkan media efektif agar akuntabilitas kerja yang dilakukannya bisa tergambar dengan baik ke masyarakat tanpa distorsi.

Beberapa waktu lalu Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meneken Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2009 tentang UKP4. Secara implisit, Perpres 10/2012 ini kian memperkuat tugas serta fungsi UKP4.

Melalui Perpres itu UKP4 akan semakin tajam dalam menyoroti kinerja menteri-menteri di kabinet, yang tujuannya tentu mendorong pencapaian sasaran dan prioritas. Kini prioritas itu berjumlah 15 dengan tambahan dua deputi.

Pada situs http://setkab.go.id disebutkan bunyi pasal 5 ayat b Perpres No 10/2012 bahwa ‘’dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, UKP4 juga mendapatkan informasi dan dukungan teknis dari kementerian, lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), pemda, dan pihak lain yang terkait’’.

Lembaga negara lain di bawah presiden yang juga selama ini memperlihatkan titik tekan akuntabilitas secara vertikal adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN & RB). Berbeda dari UKP4, Kemen PAN dan RB yang termasuk di dalam kabinet, merupakan lembaga negara yang menjadi ”mitra” Komisi II DPR.

Dengan demikian, bisa dikatakan, Kemen PAN dan RB juga mengarahkan akuntabilitasnya kepada lembaga perwakilan rakyat, sebagaimana terlihat ketika dalam rapat dengar pendapat membahas berbagai persoalan. Paparan yang diberikan Kemen PAN dan RB merupakan bagian dari prosedur akuntabilitas kepada DPR.

Dalam bingkai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), akuntabilitas vertikal dan horizontal dari Kemen PAN dan RB kepada presiden dan DPR merupakan keharusan. Namun, akan menjadi terobosan bermakna jika akuntabilitas juga berjalan vertikal, menerobos jauh ke bawah, kepada rakyat.

Lagi-lagi alasan utama perlunya terobosan ini juga disebabkan rakyat berhak tahu apa saja yang sudah dikerjakan Kemen PAN dan RB. Apalagi, masyarakat luas tentu tidak ingin melihat proses reformasi birokrasi yang pada ujungnya untuk kepentingan rakyat, tidak berhenti sebatas jargon. Nah, penyampaian informasi secara gamblang dan transparan kepada masyarakat luas tentu sangat dibutuhkan Kemen PAN dan RB.

Selain itu, ada lembaga negara yang selama ini lebih mengidentikkan diri dengan pertanggungjawaban horizontal, yakni kepada DPR. Dengan berbagai istilah prosedural kelembagaan, lembaga negara terkait menunjukkan berbagai ihwal pada DPR yang menurut UU dipandang sebagai representasi aspirasi rakyat. Karena itu, di era keterbukaan informasi ini sudah selayaknya terjadi situasi yang lebih maju.

Lembaga negara semisal BPK, KPK, BPKP, atau KY perlu diberi ruang untuk memberikan informasi kinerja yang telah dilakukan selama ini langsung kepada rakyat. Situasi ini merupakan perkembangan terbaru dalam era demokrasi serta desentralisasi. Kita semua yakin, mereka telah bekerja keras. Tetapi, rakyat berhak tahu (have the right to know) agar mereka juga punya akses untuk memanfaatkan lembaga-lembaga negara itu. Terlebih di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta.(*)

Pemda Juga Harus Terbuka

JPIP pernah menurunkan laporan khusus hasil survei kinerja akuntabilitas 38 pemda di Jawa Timur. Survei itu dilakukan dengan mewawancarai responden secara langsung selama Mei–Juni 2010. Sebanyak 2.273 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara purposif.

Responden dari kalangan well educated dan well informed yang dipilih mewakili berbagai latar belakang profesi. Yaitu, LSM, asosiasi profesi pendidikan, asosiasi profesi kesehatan, organisasi massa, mahasiswa, pelajar, PNS, dan investor.

Open government (pemerintahan terbuka) memang perlu lebih dikuak di daerah. Sebab, dari temuan pertama, masyarakat masih sulit mendapatkan informasi kebijakan daerah yang telah ditetapkan. Jumlah responden yang tidak setuju terhadap kemudahan mendapat informasi kebijakan daerah lebih banyak daripada responden yang menyatakan setuju. Bahkan, bila diakumulasikan sekalipun, tendensi jawaban tidak setuju (52,7 persen) lebih besar daripada setuju (47,3 persen).

Kondisi tersebut ironis dengan prinsip bahwa regulasi daerah yang telah ditetapkan mutlak menjadi hak publik untuk mendapatkannya. Karena itu, regulasi tersebut merupakan aturan yang mengikat publik dan pemda sebagai penerima manfaat dan/atau yang terkena dampak kebijakan itu.

Bahkan, akses informasi rancangan dan pembahasan kebijakan daerah lebih sulit didapat masyarakat. Sebanyak 60,9 persen akumulasi responden menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan ter sebut. Sisa nya, 39,1 persen secara akumulatif menjawab setuju dan sangat setuju.

Kedua, mendapat informasi tentang APBD kabupaten dan kota di Jawa Timur sama sulitnya dengan upaya mendapat informasi rancangan kebijakan daerah. Sebanyak 59,5 persen responden menyatakan tidak setuju atas kemudahan mendapat informasi APBD. Sementara itu, responden yang menjawab setuju sebesar 36,1 persen. Bila diakumulasi, tendensi jawaban tidak setuju mencapai 62,5 persen.

Artinya, APBD masih merupakan dokumen rahasia bagi seba gian besar daerah dan tidak semua warga bisa mengetahui isinya. Padahal, dokumen APBD yang dimaksud adalah dokumen yang telah menjadi perda dan wajib diketahui publik.

Ketiga, ada kabar gembira terkait upaya pemberantasan KKN di daerah. Sebanyak 48,2 persen responden setuju bahwa terdapat peningkatan pemberantasan KKN di daerah. Sementara itu, 10,7 persen sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Responden yang tidak setuju 34,4 persen dan sangat tidak setuju 6,7 persen.

Data hasil survei itu bertolak belakang dengan kenyataan minimnya inovasi dalam upaya-upaya sanitari birokrasi. Namun, responden menilai masih dalam batas wajar dan menjadi bekal harapan bagi upaya terus-menerus mendorong pemerintahan daerah yang bersih (good local government). (*/c5)

Arsip PDF: