Demi Memulihkan Kesehatan Demokrasi
Mendesaknya Dorongan Penguatan Akuntabilitas Lembaga Negara
Meski tampak gagah di luar, demokrasi kita sebenarnya tengah menunjukkan gejala-gejala ”sakit”. Kepercayaan publik menurun terhadap keamanahan lembaga negara. Tetapi, optimisme tetap menyala. Berikut pemaparan periset JPIP WAWAN SOBARI.
LEMBAGA Survei Indonesia (LSI) merilis tiga hasil survei mulai Mei 2011 hingga Februari 2012. Isinya memberikan gambaran terkini mengenai kondisi demokrasi Indonesia. Hasil survei mendiagnosis bahwa ”kesehatan” demokrasi terus menurun.
Perlu diakui bahwa kinerja demokrasi di Indonesia secara prosedural jauh lebih baik setelah reformasi. Digelarnya pemilu secara damai, reguler dan kompetitif menunjukkan berjalannya demokrasi.
Namun, tidak demikian kualitas substansi demokrasi Indonesia. Pemilu belum mampu menghasilkan pemerintah yang andal dalam mengatasi berbagai persoalan publik.
Ada dua indikator kunci kesehatan demokrasi sebuah negara, yaitu keberdayaan dan kepercayaan politik. Menurut Balch dan Converse (1974), indikator pertama terdiri atas keberdayaan internal berupa kemampuan warga berpartisipasi secara efektif dalam politik. Juga, keberdayaan eksternal terkait responsivitas pemerintah, berdasar kewenangan dan kelembagaannya, terhadap permintaan dan kebutuhan warga.
Kepercayaan politik, kata Arthur H. Miller (1974), menyangkut optimisme terhadap kemampuan pemerintah melakukan perubahan yang sesuai ekspektasi publik. Lebih jauh, kepercayaan politik berpatokan bahwa setiap tindakan pemerintah menimbulkan kemanfaatan bagi warganya. Selain itu, pemerintah diyakini dijalankan oleh orang yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik serta bertanggung jawab (akuntabel) atas mandat yang diberikan rakyat.
Merujuk pada hasil survei terbaru LSI yang dirilis Februari 2012, kondisi politik nasional saat ini dipersepsikan paling buruk sejak Desember 2004. Begitu pula kinerja penegakan hukum dinilai paling buruk sejak Desember 2005.
Menurut LSI, penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum terutama terjadi sejak pengungkapan kasus skandal Bank Century dan kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin pada Desember 2009.
Lebih parah lagi, situasi tersebut ikut menyeret kepercayaan publik terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penurunan angka kinerja politik dan hukum itu menunjukkan semakin anjloknya kepercayaan politik masyarakat. Perubahan politik dan rezim yang diharapkan memperbaiki kondisi politik dan penegakan hukum justru mengalami penurunan. Merosotnya persepsi positif publik tersebut menandakan perubahan politik dan hukum yang diinisiasi pemerintah belum sesuai dengan harapan publik.
Penurunan kepercayaan itu terjadi pula karena KPK yang selama ini dianggap sebagai lembaga paling andal melawan korupsi justru dinilai kurang kapabel. Lebih jelek lagi, KPK mengalami problem degradasi kapasitas dan integritas dalam pemberantasan tindak kriminal korupsi ketimbang tiga tahun lalu.
Meskipun demikian, kinerja ekonomi justru dinilai membaik. Penilaian positif terhadap perbaikan ekonomi menandakan publik cukup rasional dalam menilai kinerja pemerintah.
Tetapi, ada ketidakberdayaan politik. Partisipasi rakyat dalam tiga kali pemilu reformasi dinilai kurang membawa hasil. Pejabat publik yang terpilih kurang menanggapi harapan publik.
Partisipasi politik dalam memilih anggota DPR tidak sebanding dengan harapan pemberantasan korupsi. Survei LSI pada Desember 2011 menempatkan DPR sebagai lembaga kedua paling tidak bersih dari praktik korupsi setelah partai politik.
Fakta dan data terus menurunnya keberdayaan dan kepercayaan politik warga merupakan indikator kemerosotan akuntabilitas lembaga negara dan penyokong demokrasi lain, terutama partai politik.
Akuntabilitas itu kompleks, tidak saja menyangkut pertanggungjawaban, melainkan pula mencakup sanksi apabila penyedia pelayanan atau penyelenggara pemerintahan mendapat justifikasi ketidakpuasan, seperti diutarakan de Wit dan Akinyoade (2008). Indikasi penurunan kepercayaan publik terhadap capaian penegakan hukum dan kinerja politik bisa dimaknai pula sebagai sanksi warga. Mereka seakan berkata, performa akun tabilitas lembaga negara meleset dari harapan.
Karena itu, kinerja pemerintah, DPR, dan lembaga negara lain merupakan barometer bagi kesehatan sistem demokrasi. Penurunan sanksi mengindikasikan sanksi rakyat terhadap akuntabilitas penyelenggaraan negara.
Karena itu, sudah selayaknya hasil-hasil survei itu menjadi peringatan bagi para penyelenggara negara, terutama yang memproduksi pelaporan akuntabilitas negara mendesain ulang performanya. Lembaga-lembaga seperti KPK, BPK, MK, KY, Kemen PAN, dan UKP4 perlu lebih proaktif turun dan bersentuhan dengan publik di daerah. Karena sebagian besar publik di daerah mengakses informasi kinerja akuntabilitas secara tidak langsung melalui media massa, lembaga-lembaga tersebut perlu menggandeng media massa lokal untuk memperkuat kepercayaan publik.
Demi meminimalkan sanksi persepsi publik terhadap kinerja akuntabilitas yang rendah, KPK, BPK, MK, KY, Kemen PAN dan RB, BPKP, UKP4, dan TQA bekerja sama dengan Jawa Pos, JPIP, dan USAID. Caranya, para lembaga itu difasilitasi dan didorong untuk memopulerkan bahasa akuntabilitasnya hingga layak dipahami semua kalangan. Secara proaktif, mereka didorong untuk berinteraksi secara intens dengan para jurnalis lokal agar diseminasi kinerja akuntabilitas lembaga negara tersebut berjalan efektif.
Sesuai dengan kata pepatah, tiada gading yang tak retak, namun gading retak tak berarti rusak. (*)
Parpol, Harapan yang ”Pol”
IRONI paling mendalam dalam ”kesakitan” demokrasi kita adalah ketidakpercayaan pada partai politik. Sebagai sebuah alat rekrutmen pemimpin politik, harapan publik ke parpol seakan sudah pol (mentok). Seperti survei LSI yang dipaparkan dalam tulisan di samping, setelah parpol, yang paling tak dipercaya adalah DPR.
Bombardir pemberitaan kasus demi kasus di DPR mencitrakan lembaga itu kurang amanah alias kurang akuntabel. Bisa saja DPR menyalahkan pemberitaan negatif kepada mereka, tapi mana ada asap kalau tak ada api.
Mana ada anggapan malas, misalnya, kalau mereka menyelesaikan semua penyusunan UU. Mana ada tuduhan korupsi, misalnya, kalau tak ada mafia anggaran. Mana ada kecaman pemborosan, misalnya, kalau mereka tidak membuat ruang banggar semewah kerajaan. Mana ada sinisme kalau, misalnya, tak ada pelesiran yang boros dan tak urgen. Mana ada kecaman moral kalau, misalnya, tak ada gambar porno yang dicurigai melibatkan legislator. Masih banyak aneka persoalan yang merundung para legislator (orang parpol pilihan kita).
DPR memang produk parpol yang paling diamati perilakunya. Mereka menyandang status ”wakil rakyat”, tak heran kalau selalu dituntut oleh rakyat yang diwakili. Apalagi kewenangan mereka besar sekali. Terutama kewenangan mengelola anggaran (fungsi budgeting). Di sinilah tuntutan akuntabilitas sangat tinggi. Hingga saat ini, belum ada jaminan bahwa proses penganggaran bebas patgulipat, tecermin dari terkuaknya korupsi permainan anggaran.
Karena parpol menghasilkan orang-orang yang berperilaku tak akuntabel, sangat benar ketika survei mengonfirmasikan sebagai lembaga yang tak dipercaya rakyat. Demokrasi sakit karena kinerja orang-orang produk parpol di legislatif dan lembaga negara yang lain. Inilah yang mendasari perlunya jalur non-parpol untuk merekrut pejabat politik negara. Untuk pemilihan kepala daerah sudah ada jalur independen, tetapi orang belum bisa menjadi legislator tanpa parpol. UU Pemilu masih mengunci bahwa peserta pemilu adalah parpol.
Dengan legitimasi yang begitu besar, mestinya parpol berperilaku lebih responsif dan akuntabel. Tuntutan ”sederhana” untuk membuka pendanaan parpol pun belum terwujud. Parpol belum menjadi agen transparansi. Padahal, lembaga ini bersifat publik. Bukan lembaga kroni atau dinasti yang tertutup.
Ketika masyarakat kian terbuka, parpol masih enggan membuka diri. Hanya saat kampanye lima tahunan lah mereka berkoar seolah-olah pro-transparansi, pro-akuntabilitas, dan antikorupsi. Persis seperti kantor parpol yang lebih banyak tertutup dan hanya ramai lima tahun sekali. (*)
Arsip PDF :