Daya Pikat Komoditi dalam Kapitalisme Eksesif
5 mins read

Daya Pikat Komoditi dalam Kapitalisme Eksesif

Nilai lebih yang biasa disebut ekses dalam komoditi menjadi pusat dari modus produksi masyarakat kapitalis. Sedangkan kapitalisme sendiri memang memprioritaskan pertumbuhan besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, meski kebutuhan dasar masyarakat sudah terpenuhi. Untuk menghadapi kelebihan dalam komoditi, maka produsen menciptakan beragam cara memikat konsumen. Cara merayu konsumen agar mau membeli komoditi walau komoditi itu sejatinya tak dibutuhkan. Itu salah-satu dampak eksesif komoditi dalam kapitalisme.

Di bawah kapitalisme, produksi berjalan bukan sekadar memenuhi kebutuhan untuk keberlangsungan hidup, namun lebih dari itu. Produksi dalam masyarakat kapitalis selalu menghasilkan overproduction, produksi berlebih. Produksi berlebih ini meski bukan hal penting, tapi dibutuhkan oleh kapitalisme agar tetap hidup. Contoh aktual dalam hal ini adalah nilai berlebih dari tanah di bawah laut yang dipagari. Bagi masyarakat biasa, kepemilikan tanah itu di daratan. Bukan lautan. Tapi, bagi masyarakat kapitalis, tanah di bawah laut pun bisa dikuasai.

Sebagai komoditi, tanah dilihat dalam bingkai kapitalisme secara eksesif. Bukan cuma di daratan, pegunungan atau perbukitan, tanah di bawah laut pun bernilai komoditi. Bagi kapitalis, wajar dan boleh saja jika laut dikavling. Laut dipagari setelah hak atas tanah di bawah laut disertifikasi untuk dimiliki. Bisa dikatakan, tanpa bersikap eksesif dalam menciptakan komoditi, maka kapitalis tidak akan melihat proses produksi menghasilkan keuntungan.

Dalam masyarakat purba, reproduksi terjadi untuk mempertahankan tatanan sosial. Reproduksi merupakan energi utama untuk tatanan sosial. Melalui reproduksi, raja dan bangsawan selalu melahirkan nilai baru untuk menjaga tatanan.

Nilai itu tetap dipegang sampai terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam tatanan yang belakangan baru disadari oleh masyarakat. Tengok saja apa yang terjadi pada kerajaan-kerajaan di nusantara. Para raja dan bangsawan senantiasa menggulirkan cara, tata laku dan berbagai ujaran yang bernilai untuk menjaga tatanan.

Dalam masyarakat kapitalis, reproduksi juga menjadi utama, setelah itu produksi. Reproduksi terjadi secara insidental. Misal, kapitalis menggaji pekerja untuk menghasilkan komoditi dan para konsumen membeli komoditi tersebut. Artinya, konsumen menjadikan proses reproduksi tetap berlangsung.

Situasi ini mirip dengan tanah sebagai komoditi. Ketika kapitalis mendorong tentakelnya di dalam birokrasi untuk mencari tanah yang bisa dikapitalisasi, sedangkan penguasaan tanah di daratan sudah sulit dilakukan. Maka, tanah di bawah laut pun bisa menjadi komoditi.

Laut yang seharusnya menjadi milik bersama, kemudian diubah oleh kapitalis menjadi milik pribadi melalui sertifikasi tanah di bawah laut. Langkah kapitalis ini tentu menciptakan kekacauan atau katastrofi. Sebab, nafsu eksesif kapitalis memang tak pernah mempedulikan tatanan sosial. Sejarah pertumbuhan kapitalisme di Barat maupun Timur menunjukkan itu. Sejarah itu berulang kembali di nusantara ini.

Komoditi mempunyai daya tarik luar biasa bagi masyarakat kapitalis. Karl Marx menyebut daya tarik itu sebagai ”Commodity Fetishism” (hlm 91). Berkat hasil kerja para buruh, pekerja atau siapapun dalam modus reproduksi maka daya tarik komoditi menjadi begitu menggoda konsumen.

Lantas bagaimana konsumen menjadi begitu tertarik kepada komoditi, nah penulis buku ini merujuk kepada konsep pengingkaran fetisistik yang dikembangkan Sigmund Freud. Menurut Freud, pengingkaran ketidaksukaan pada sesuatu menyebabkan naiknya daya pesona sesuatu itu.

Komoditi mengandung daya pesona yang secara simbolik, dalam pengertian Freud, kekurangannya diingkari. Sehingga daya pesona ini kian kuat menyedot perhatian siapapun yang melihat komoditi itu sarat keuntungan.

Dalam bahasa Marx, itulah fetisisme komoditi. Ketertarikan luar biasa pada komoditi sehingga seseorang berani melakukan investasi besar-besaran untuk mengembangkan komoditi tersebut tanpa berpikir lagi tentang resiko investasi. Seperti yang kita lihat hari-hari ini, ketika investasi jumbo diguyur deras ke pengembangan Artificial Intelligence (AI).

Buku ini berbicara tentang ekses murni komoditi dalam kapitalisme. Bagaimana komoditi begitu menggoda pada saat kapitalisme lanjut berlangsung dimana-mana. Ditulis oleh pengajar Universitas Vermont, AS, buku ini sangat mudah dipahami. Diawali dengan pendahuluan lalu masuk ke enam bab pembahasan menjadikan buku ini sarat analisa. Terutama analisa tentang komoditi, produksi, reproduksi dan masyarakat kapitalis.

Baginya, komoditi telah mengalami perubahan makna sejak masuk ke dalam proses reproduksi, bukan sekadar dalam proses produksi saja. Komoditi yang dilahirkan oleh proses produksi lalu beredar di masyarakat, pada gilirannya menjadi sarana penting bagi kapitalis untuk direproduksi. Contohnya, tanah sebagai komoditi.

Dalam proses produksi, tanah bisa menumbuhkan bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat. Tapi, proses reproduksi justru melihat tanah bisa memberi nilai tambah berlebih, bukan sekadar menghasilkan bahan makanan. Melainkan, tanah dimana pun berada, termasuk di dasar lautan, punya nilai tambah berlebih.

Untuk mewujudkan kepemilikannya, maka langkah apapun bisa ditempuh asalkan seluruh lini birokrasi untuk pelepasan tanah sudah dikuasai. Ini menciptakan katastrofi sosial.

Ala kulli hal, bicara soal komoditi dan kapitalisme memang tidak akan pernah usang. Selalu ada hal baru dalam dinamika komoditi dan kapitalisme, apalagi jika nafsu eksesif kapitalis justru dominan. Maka berbagai siasat pun akan muncul untuk menciptakan nilai eksesif murni dari komoditi.[]

Oleh: Rosdiansyah

Peneliti JPIP

Artikel ini telah tayang di Rmoljatim.id dengan judul Sensasi Komoditi Yang Tak Pernah Usang, https://www.rmoljatim.id/2025/01/31/sensasi-komoditi-yang-tak-pernah-usang.