Aparat Masih Tertutup, Kian Banyak Sengketa
7 mins read

Aparat Masih Tertutup, Kian Banyak Sengketa

Tiga Tahun Berliku Menguak Kebebasan Informasi Publik

Informasi adalah hak asasi setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Sejak tiga tahun lalu, Komisi Informasi (KI) didirikan untuk menjamin keterbukaan informasi itu. Ketika rakyat siap, lagi-lagi aparatur negara yang belum open. Berikut ulasan Nur Hidayat dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

MANTRA ’’keterbukaan’’ sering terlontar dalam berbagai diskusi tentang pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Meski ringan diucapkan, implementasinya butuh perjalanan panjang dan berliku.

Secara yuridis-formal, isu keterbukaan alias transparansi menemukan momentum setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Setelah dibahas hampir sewindu oleh dua periode keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, beleid itu akhirnya baru disahkan pada 30 April 2008.

Proses pembahasan hingga pengesahannya pun tidak mudah. Tercatat ada 70 kali rapat perdebatan dalam pembuatan undang-undang ini. Belum termasuk puluhan diskusi yang digelar berbagai lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Semua bermuara pada upaya melindungi hak warga negara dalam mendapatkan informasi sebagaimana dijamin pasal 28F UUD 1945.

Setahun setelah disahkan, Komisi Informasi (KI) sebagai pelaksana undang-undang itu pun dibentuk. Dipimpin kali pertama oleh Ahmad Alamsyah Saragih (periode 2009–2011), lembaga mandiri tersebut bergerak cepat untuk merespons harapan publik terhadap keterbukaan informasi yang terpendam sejak era reformasi.

Pada tahun pertama, dukungan finansial untuk penguatan kelembagaan KI dikabarkan sempat seret. Bahkan, pembayaran honorarium untuk para komisioner pun konon sempat tertunda hingga 1,5 tahun. Namun, menurut Alam –panggilan Alamsyah Saragih–, kondisi itu tidak mengurangi semangat para komisioner untuk menjalankan amanat UU KIP.

Mereka tetap bekerja secara cepat dan cermat untuk menyiapkan berbagai instrumen pendukung pelaksanaan UU KIP. Hasilnya, Standar Layanan Informasi Publik dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dapat diterbitkan KI saat undang-undang tersebut efektif berlaku pada 2010.

Fasilitas yang serba terbatas tidak menghalangi kiprah KI dalam mendorong transparansi. Ibarat kendaraan, pada tahun pertama, perjalanan KI harus menerobos hutan belantara ketertutupan informasi yang menjadi habitat badan-badan publik di negeri ini. Pada saat yang sama, KI terus berupaya meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya transparansi serta keterbukaan informasi.

Secara struktural, saat ini telah terbentuk 15 KI di tingkat provinsi. Yaitu, Jatim, Jateng, Kepulauan Riau, Gorontalo, Lampung, Banten, Sulsel, Jabar, dan Sumsel. Juga, Kalteng, DI Jogjakarta, NTB, DKI Jakarta, Sulut, dan Bali. Di luar itu, Kabupaten Bangkalan dan Kota Cirebon juga telah membentuk KI di daerah.

Sebagai lembaga baru, antusiasme masyarakat menyambut kehadiran KI, antara lain, dapat dilihat dari jumlah pengaduan yang masuk. Pada 2010, saat UU KIP baru diberlakukan, jumlah pengaduan atau sengketa informasi yang masuk ke KI mencapai 76 perkara. Jumlah tersebut naik lima kali lipat menjadi 419 perkara pada 2011.

Di antara 495 perkara yang ditangani KI tersebut, 70 persen merupakan sengketa yang menyangkut informasi terbuka menurut UU KIP. Misalnya, laporan keuangan badan publik (22 persen), rencana kerja dan anggaran (19 persen), daftar informasi publik (13 persen), daftar peraturan (10 persen), pengadaan barang/jasa (5 persen), serta struktur organisasi (1 persen). Sementara itu, 30 persen sisanya terkait dengan objek sengketa spesifik.

Meski hanya mengambil porsi 30 persen di antara total perkara, sengketa informasi dengan objek spesifi k tersebut justru menguras energi para komisioner. Menurut Abdul Rahman Ma’mun (ketua KI Pusat periode 2011–2013), perkara kategori itu termasuk kasus-kasus kelas berat.

Misalnya, sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Mabes Polri terkait dengan rekening (gendut) 17 perwira tinggi Polri. Juga, sengketa informasi tentang pertanggungjawaban dana bantuan operasional sekolah (BOS) antara ICW dan beberapa sekolah serta dinas pendidikan di DKI Jakarta. Perkara lainnya adalah sengketa informasi antara Suciwati (istri almarhum Munir) dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Perkara dengan objek sengketa spesifik lainnya adalah permohonan informasi nilai, ranking, dan salinan lembar jawaban komputer (LJK) yang diajukan 17 pelamar CPNS daerah Kota Medan 2010 melalui LBH Medan. Termohon dalam perkara itu adalah Pemkot Medan dan Universitas Sumatera Utara.

Terhadap perkara tersebut, KI menyatakan bahwa nomor ujian, daftar ranking, dan nilai peserta seleksi CPNSD serta salinan LJK yang telah dikaburkan identitasnya adalah informasi yang bersifat terbuka. Dengan putusan tersebut, KI telah membuat terobosan penting yang sangat berpengaruh terhadap transparansi proses rekrutmen CPNS di daerah.

Terobosan lain yang dilakukan KI adalah menerbitkan surat edaran bahwa dokumen rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga (RKAK/L) serta daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) adalah informasi publik yang harus disediakan secara berkala oleh badan publik.

Dengan berbagai terobosan tersebut, masa depan keterbukaan informasi, tampaknya, ditentukan –terutama– oleh kesiapan badan-badan publik dalam menjalankan UU KIP. Merujuk pada pasal 60 UU KIP, KI di tingkat provinsi seharusnya telah terbentuk selambatnya dua tahun sejak diundangkannya UU KIP. Faktanya, hingga saat ini baru 15 provinsi yang telah membentuk KI. (nur hidayat)

Rahasia pun Harus Diuji

ADA tiga pemangku kepenting an (stakeholders) dalam penerapan UU KIP. Yaitu, badan publik, masyarakat, dan komisi informasi (di tingkat pusat maupun provinsi). Setiap pemangku kepentingan mempunyai kendala.

Tantangan terbesar penerapan UU KIP terutama terletak pada kesadaran pengelola badan publik. Sebagai pemangku kepentingan utama, mereka punya kewajiban menyediakan dan melayani informasi tentang penyelenggaraan negara kepada publik.

Peranan badan publik paling besar dan penting dalam pengoperasian undang-undang ini. Dengan kata lain, jika badan publiknya belum punya kesadaran untuk menjalankan UU KIP, pasti akan muncul kendala di lapangan. Misalnya, ketika masyarakat meminta informasi, badan publik tidak melayani atau tidak menanggapi.

Bisa jadi, permintaan masyarakat tersebut tidak dilayani karena ketidaktahuan pengelola badan publik. Dalam konteks ini, masyarakat yang mempunyai hak atas informasi telah berperan sesuai dengan porsinya. Lalu, mereka menyampaikan pengaduan terkait dengan kasus semacam itu ke komisi informasi yang tugas utamanya menyelesaikan sengketa informasi.

Perlu diketahui, sejak diberlakukannya UU KIP, paradigma tentang informasi publik berubah total. Sebelum UU KIP, banyak informasi terkait dengan penyelenggaraan negara yang dikategorikan rahasia, kecuali yang diizinkan untuk dibuka. Setelah pemberlakuan UU KIP, kerahasiaan sebuah informasi harus ditetapkan setelah melalui uji konsekuensi.

Sesuai dengan pasal 17 UU KIP, memang ada beberapa informasi yang dikecualikan. Tetapi, banyak badan publik yang belum sadar akan terjadinya perubahan paradigma keterbukaan informasi publik. Padahal, mereka bertanggung jawab untuk menyediakan informasi kepada masyarakat.

Pada tataran kelembagaan, baru 74 persen badan publik tingkat pusat yang memiliki pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID). Di tingkat provinsi, jumlahnya lebih rendah lagi, hanya 40 persen. Pada tingkat kabupaten, ada 29 persen dan tingkat kota hanya 11 persen. Data itu didasarkan pada kondisi hingga akhir 2011.

Implikasinya, sekitar 70 persen sengketa informasi yang diajukan ke KI adalah sengketa prosedural. Hanya 30 persen sengketa yang bersifat substansial. Hal ini terjadi, sekali lagi, karena kurangnya kesadaran pengelola badan publik terhadap perubahan paradigma tersebut.

Hingga akhir 2011, KI menerima 495 sengketa informasi. Sebanyak 48 persen perkara terselesaikan. Baik melalui proses mediasi maupun ajudikasi nonlitigasi. Hingga 31 Maret 2012, jumlah sengketa informasi yang diadukan ke KI bertambah, menjadi 615 perkara.

Dari kacamata positif, banyaknya pengaduan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan haknya terhadap informasi publik dan keberadaaan KI. Sebaliknya, kondisi tersebut juga bisa menjadi cermin kurangnya kesadaran pengelola badan publik terhadap hak masyarakat. Sebab, di antara 615 perkara, mayoritas merupakan sengketa yang bersifat prosedural. Artinya, mungkin permintaan masyarakat tidak ditanggapi, tidak dilayani, atau diabaikan oleh pengelola badan publik.

Nanti, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengelola badan publik, KI bekerja sama dengan UKP4 dan Kementerian Kominfo untuk mendorong pembentukan PPID. (nur hidayat/c1)

Arsip PDF :