
Lampu Kuning Keterbukaan Informasi
Buntut Gugatan DPD Partai Golkar terhadap Fitra NTB
Ketika iklim keterbukaan informasi semakin menguat, Partai Golkar justru melawan arus. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat sejarah baru, yakni menggugat pemohon informasi. Bagaimana kasus itu bermula? Akankah hal tersebut menjadi preseden buruk bagi gerakan keterbukaan informasi? Berikut laporan Fathul Rakhman dari JPIP.
HARI-hari Suhardi, penggiat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB, berubah sejak 13 Januari 2014. Hari itu, DPD Partai Golkar NTB resmi melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Nama Suhardi tercantum sebagai tergugat I, Komisi Informasi Provinsi NTB (KI NTB) sebagai tergugat II, dan Komisi Informasi Pusat (KIP) sebagai tergugat III.
Uniknya, gugatan itu diklaim sebagai bagian dari hak keberatan atas putusan KI yang diatur dalam UU No 14/2008 tentang Ke te rbukaan Informasi Publik. Namun, pada saat yang sama, gugatan tersebut memasuki ranah perdata dan mencantumkan tuntutan ganti rugi Rp 53 juta (kerugian materiil) dan Rp 1 miliar (kerugian imateriil).
Gugatan Golkar berawal dari putusan KI NTB Nomor 014/XII/KI-NTB/PS-A/2013. Putusan yang diteken pada 23 Desember 2013 itu menyatakan bahwa informasi yang diminta Suhardi adalah informasi terbuka. Sebelumnya, penggiat Fitra tersebut meminta informasi laporan keuangan 2011-2012 secara terperinci, baik penerimaan maupun pengeluaran, untuk semua sumber pendanaan. Pihaknya juga meminta neraca keuangan, laporan aktiva kas, dan struktur kepengurusan.
Sejak Agustus 2013, penggiat Fi tra NTB memang meminta data serupa ke semua partai politik di provinsi itu. Selain Golkar, permohonan sengketa informasi yang di ajukan Fitra ke KI NTB menyeret Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD). Bedanya, PAN dan PD menyerahkan data yang diminta kepada pemohon, meskipun beberapa perincian data belum dimiliki PD.
Karena itu, gugatan Golkar ke PN Mataram seakan menampar wajah para penggiat Fitra. Kegiatan analisis data partai yang tengah berlangsung terganggu gugatan itu. Bagi para penggiat advokasi anggaran di NTB, gugatan terhadap Suhardi menjadi sinyal buruk bagi gerakan keterbukaan informasi.
Sekjen Fitra NTB Ervyn Kaffah menyatakan, putusan KI NTB sebenarnya menegaskan ketentuan dalam UU No 2/2011 tentang Parpol dan UU No 14/2008 tentang KIP. Parpol adalah badan publik yang wajib menyediakan dan memudahkan akses informasi publik. ’’Karena data yang diminta untuk tahun yang telah lewat, bisa di ka tegorikan sebagai informasi yang harus tersedia setiap saat,’’ tegasnya.
Namun, kuasa hukum Golkar NTB Usep Syarif Hidayat berpandangan berbeda. Menurut dia, permohonan informasi oleh Suhardi tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak didasari iktikad baik. Bahkan, batas waktu keberatan yang diajukannya dianggap kedaluwarsa oleh Golkar. Usep juga mempertanyakan kapasitas Suhardi dan tujuannya meminta informasi dari Golkar.
Pengacara Golkar lainnya, Sri Hayati Ningsih, menuding sidang ajudikasi yang berlangsung cacat prosedur dan tidak kredibel. ’’Karena itu, kami menyampaikan gugatan kerugian materiil dan imateriil karena Golkar merasa dirugikan,’’ kata pengacara yang cukup terkenal di Mataram itu.
Terkait dengan posisi KIP sebagai tergugat III, Usep menyatakan bah wa KIP diminta memberikan sanksi dan pembinaan kepada KI NTB. Sebab, Usep menduga putusan KI NTB merupakan copy-paste putusan dari Jakarta.
Sementara itu, Komisioner KI NTB Ajeng Roslinda menyatakan, gugatan Golkar sebenarnya salah alamat. Sesuai Peraturan Mahkamah Agung No 2/2011, seharusnya yang digugat adalah keputusan KI, bukan kelembagaannya. ’’Lagi pula, semua hal yang dipertanyakan sudah jelas, termasuk soal KTP pemohon. Rekaman lengkap proses persidangan juga masih kami simpan.’’
Kasus gugatan terhadap pemohon informasi dan kelembagaan KI itu juga menarik perhatian Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono. Ketika kasus ini mencuat, KIP langsung memanggil KI NTB. KIP menganalisis kasus tersebut, termasuk membuka semua bukti. Rekaman proses sidang pun dicermati menit per menit. ’’Hasil pemeriksaan kami, KI NTB sudah benar. Kualitas putusannya sudah layak,’’ tegasnya.
Saat menghadiri workshop JPIPU-SAID di Kota Jayapura, Papua, pertengahan Februari lalu, Abdulhamid menyatakan bahwa kasus gugatan Golkar NTB menjadi keprihatinan para penggiat keterbukaan informasi. Kasus tersebut juga menjadi sinyal buruk penerapan UU KIP. Alih-alih memberikan akses informasi, tidak menutup kemungkinan badan-badan publik nanti justru mengancam menggugat pemohon informasi.
Karena itu, secara substansi, KIP menaruh perhatian besar pada gugatan Golkar terhadap Suhardi. Sebab, jika semua warga yang memohon informasi digugat, mental pemohon bisa jatuh. Masyarakat juga akan takut menjadi pemohon informasi karena suatu saat dapat digugat. Padahal, informasi yang diminta bukan informasi perkecualian.
’’Bayangkan, semua pemohon nanti digugat. Tidak ada lagi orang yang berani meminta informasi. Ini bisa menjadi pembungkaman terhadap keterbukaan informasi,’’ ungkap alumnus Universitas Gadjah Mada itu dengan nada prihatin.
Sebagai partai besar, kata Abdulhamid, Golkar semestinya menjadi contoh untuk partai lainnya dengan memberikan informasi tanpa menunggu masuk ke ranah sengketa informasi. ’’Partai Golkar sebagai penerima dana pemerintah wajib untuk melaporkan penggunaan dana itu,’’ tegasnya. (www.jpipnetwork.id)
Badan Publik Belum Siap Terbuka

Sejak dilantik pada 8 Februari 2012, Komisi Informasi Provinsi NTB (KI NTB) telah memutus 15 sengketa informasi. Yang terbaru, sengketa informasi antara mahasiswa dan rektor Universitas Mataram (Unram). Selangkah lagi proses yang sedang dalam tahap mediasi ini, tampaknya, masuk tahap ajudikasi. Berikut wawancara JPIP dengan Ketua KI NTB Muhammad Syauqie.
Apakah kondisi ini bukti masyarakat NTB telah menyadari pentingnya keterbukaan informasi?
Boleh dikatakan seperti itu. Dalam setahun terakhir, banyak sengketa informasi yang dibawa ke KI. Sebagian atas permintaan pribadi. Ada juga atas permintaan lembaga swadaya masyarakat.
Data apa yang paling sering diminta pemohon?
Sebagian besar data keuangan. Kalau dilihat semua, sebagian besar permintaan informasi keuangan partai politik. Mungkin ini ada yang berkaitan dengan tahun pemilu. Putusan KI, data yang diminta pemohon itu terbuka untuk publik. Informasi penggunaan keuangan sebenarnya tidak sensitif jika tidak ada masalah. Artinya, badan publik tidak perlu takut data penggunaan keuangan itu diketahui oleh publik. Istilahnya, kalau yakin bersih, kenapa harus risi.
Ada kesan, informasi keuangan adalah data sensitif. Karena itu, badan publik kerap tidak langsung memberikan dan berujung kepada sidang ajudikasi?
Kalau komunikasi antara pemohon dan badan publik bagus, sebenarnya tidak perlu sampai sidang. Sama dengan kasus mahasiswa Unram saat ini. Tapi, karena badan publik tidak siap memberikan informasi, akhirnya bisa berlanjut dan muncul keberatan.
Pada dasarnya, informasi yang diminta oleh pemohon selama ini adalah informasi yang seharusnya disiapkan oleh badan publik. Tapi, selama ini tidak semua badan publik menyampaikan informasi itu secara berkala. Padahal, itu menjadi kewajiban mereka. Diminta atau tidak diminta, mereka wajib menyiapkan data tersebut.
Apa langkah KI NTB untuk meningkatkan kesadaran badan publik terhadap keterbukaan informasi?
Selama ini kami terus melakukan sosialisasi. Termasuk mendorong adanya pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID). Untuk kabupaten/kota di NTB, sembilan kabupaten telah memiliki PPID. Hanya Kota Mataram yang masih dalam pembentukan. Selanjutnya, kami juga mendorong pembentukan PPID di dinas-dinas. Tujuannya, tidak ada lagi kesulitan ketika ada permohonan informasi. (fathul/jpip)
Arsip PDF :