Jangan Keluhkan Biaya Demokrasi
Dinamika Workshop dan Training Akuntabilitas JPIP-USAID di Jayapura
Sebagai daerah yang memperoleh otonomi khusus, isu desentralisasi dan otonomi daerah menjadi warna tersendiri dalam forum akuntabilitas seri ke-9 di Jayapura, Selasa-Rabu pekan lalu. Selain itu, problem kinerja hakim dibahas secara spesifik. Berikut laporan jurnalis JPIP Taufik Akbar.
BUPATI Jayapura Mathius Awoitauw menandai pemerintahan yang terbuka dengan adanya partisipasi aktif masyarakat untuk menentukan sendiri masa depannya. Partisipasi ini mesti produktif dan efektif. Tapi, partisipasi aktif ditandai dengan masyarakat yang vokal gegap gempita, terkadang justru menimbulkan problem.
”Penyebabnya, pendidikan politik yang masih lemah di masyarakat,” kata Mathius dalam workshop bertema ”Pace… Mace… Kitorang Musti Transparan” (Pak, Bu, Kita Mesti Transparan) di Jayapura, Selasa (18/2). Selain Matius, workshop menghadirkan anggota Komisi II DPR asal Papua Agustina Basikbasik, Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono, komisioner Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman, dan Ketua Ombudsman RI Sulawesi Selatan Subhan Djoer.
Sebagai kepala daerah, Mathius berharap ada satu format pendidikan politik yang benar-benar bisa mencerdaskan masyarakat untuk berpartisipasi secara tertib tanpa memicu persoalan baru. Mathius melihat, sejauh ini hanya media massa yang berperan dalam pendidikan politik kepada masyarakat. ”Kami berharap partai politik juga ikut mengambil peran tersebut sampai ke akar rumput,” ujar sosok yang memimpin 200 ribu warga itu.
Menurut dia, peran kepala daerah sangat menentukan. Apalagi, di Papua diberlakukan kebijakan otonomi khusus. Selain berbicara pengawasan, Mathius berharap media dan berbagai lembaga yang ada juga memikirkan pendidikan politik yang mendewasakan masyarakat. ”Dari segi pengawasan, tinggal bagaimana pemerintahan bisa lebih terbuka dan pelayanan publik bisa lebih baik. Dua hal itu sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat,” katanya.
Anggota Komisi II DPR Agustina Basikbasik menambahkan, semangat menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa harus muncul dari kepala daerah dan jajaran di bawahnya. Itulah, kata Agustina, yang dinamakan integritas. ”Kejujuran, keterbukaan, dan kerelaan melayani masyarakat. Kerja ikhlas, bukan untuk dipuji, bukan untuk honor naik, bukan untuk insentif naik,” ujar legislator Golkar yang akrab dipanggil Mama itu.
Tujuan digulirkannya pemilu lokal adalah kepala daerah terpilih mau melayani warganya. Dia pun mengkritik mengapa kita memilih sistem demokrasi, antara lain, lewat pilkada, tetapi mengeluhkan biayanya. ”Tidak boleh mengeluhkan biaya. Kalau (negara) memang tak mau membiayai, kita usahakan cari sendiri,” katanya disambut senyum di antara sekitar seratusan peserta.
Dalam acara ini memang ada curhat dari Ketua KIP Dipopramono bahwa lembaganya hanya diberi Rp 14,3 miliar setahun. Begitu juga komisioner KY Eman Suparman menyebut KY dijatah Rp 83 miliar (dipotong dari Rp 91 miliar tahun lalu). Padahal, tugasnya memantau seluruh Indonesia. Eman bahkan menyebut di antara lembaga tinggi negara (presiden, MA, DPR, DPD, BPK, MK, KY) anggaran KY yang terkecil.
Meski anggarannya sendiri seret, KY tetap berkomitmen meningkatkan kesejahteraan hakim. Eman menyoroti transparansi kinerja hakim setelah gaji mereka dinaikkan 300 persen. Saat ini, kata Eman, hakim golongan III-A nol tahun nol bulan di Wamena, Tobelo, dan Tahuna memperoleh gaji sebesar Rp 20 juta. ”Tidak ada PNS yang nol tahun nol bulan gajinya segitu,” kata mantan ketua KY itu.
Menurut Eman, setelah kenaikan gaji itu, perilaku hakim untuk minta disuap semakin berkurang. Tapi, justru muncul persoalan baru akibat kelebihan duit. Pasalnya, ada oknum hakim yang tidak biasa mengelola gaji sebesar itu, kata Eman, justru bisa tergoda untuk berselingkuh.
Eman mencontohkan kasus perselingkuhan di Muaratebo, Jambi. Hakim laki-laki dari pengadilan agama dan pihak perempuan dari pengadilan negeri. Masing-masing jauh dari suami dan istri. Yang tragis, mereka berhubungan suami istri di gedung pengadilan agama. ”Minggu depan mereka kami bawa ke MKH (majelis kehormatan hakim, Red). Kebetulan saya ketua majelisnya,” kata Eman.
Untuk menghindari kejadian serupa, KY telah minta kepada Mahkamah Agung agar suami-istri yang sama-sama menjadi hakim dapat didekatkan wilayah kerjanya. Misalnya, kalau suami bertugas di Kabupaten Jayapura, istrinya ditempatkan di Kota Jayapura. ”Jangan sampai penerapan otonomi daerah malah mempersulit dan membawa mudarat bagi rumah tangga hakim,” tegas guru besar Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Dari sisi kinerja hakim, laporan pengaduan yang diterima KY dari Papua dan Papua Barat terbilang minim. Dari 2011 sampai Februari 2014, KY hanya menerima 47 laporan. Dari jumlah itu, yang bisa diregistrasi hanya 16 laporan. Sisanya sulit diregistrasi karena pelapor tidak melengkapi data administrasi tambahan. ”Dari 16 laporan yang diregistrasi, dua yang ditindaklanjuti. Tidak signifikan,” kata Eman. (Taufik Akbar)
WTP Tak Menjamin Bebas Korupsi
Bagi sebagian instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah, mendapatkan status wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan sebuah kebanggaan. Tidak jarang, status WTP dikesankan sebagai pengakuan BPK bahwa instansi tersebut telah bebas dari praktik korupsi.
FAKTANYA, pemeriksaan BPK tidak didesain untuk mengungkap praktik penipuan atau kecurangan (fraud). ”Pemeriksaan itu dirancang hanya untuk melihat ketaatan pihak terperiksa (auditee) terhadap sistem dan aturan yang ada,” ujar Kepala Sekretariat Perwakilan (Kasetlan) BPK Papua Lion Simbolon dalam acara Akuntabilitas JPIP-USAID di Papua pekan lalu.
Lion menambahkan, ada dua hal penting yang menjadi acuan BPK dalam memeriksa auditee. Yaitu, dari sisi sistem pengendalian internal (SPI) dan ketaatan serta kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan.
Lion juga mengakui, pihaknya selama ini tidak terfokus pada pengungkapan adanya fraud tersebut. BPK hanya mencermati apakah laporan keuangan yang diberikan oleh auditee telah disajikan secara benar atau tidak. Jika laporan itu sudah sesuai sistem dan patuh aturan, BPK akan memberikan penilaian WTP. Sebaliknya, tatkala laporan tidak sesuai aturan, BPK akan mengganjar dengan opini wajar dengan pengecualian (WDP). ”Untuk laporan yang sulit diperoleh, BPK tak segan memberikan penilaian disclaimer,” imbuhnya.
Proses menuju penilaian itu dilakukan 60 hari. Tim pemeriksa BPK akan turun ke lapangan, mengumpulkan bukti fisik dan data. ”Kami juga memberi tahu auditee tentang konsep pemeriksaan,” tuturnya.
Setelah mendapatkan laporan keuangan auditee, tim pemeriksa akan kembali ke kantor dan menggelar rapat. ”Kami memeriksa bukti-bukti secara cermat, lalu menyajikan hasil pemeriksaan dalam bentuk penilaian,” papar auditor yang lama bertugas di Papua ini.
Ketiadaan sistem pemeriksaan yang bertujuan mengungkap fraud ini merupakan keterbatasan BPK. Lion menegaskan, pihaknya bukanlah aparat penegak hukum. ”BPK bukan aparat penegak hukum, tapi auditor. Secara perundangan memang begitu. BPK hanya spesialis mengaudit penggunaan keuangan lembaga negara dan daerah,” urainya.
Meski demikian, sesuai amanat UU No 15/2006, BPK juga dapat memeriksa dengan tujuan tertentu. Suatu ketika, KPK pernah meminta BPK Perwakilan Papua turun ke suatu daerah di bumi Cendrawasih untuk memeriksa laporan keuangan. Hasil pemeriksaan itu, sambung Lion, hanya diberikan kepada KPK untuk kepentingan penyelidikan.
Lion menjelaskan, terdapat sembilan pemda di Papua yang memperoleh predikat WDP pada 2013. Antara lain, Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Jayawijaya. Di luar sembilan daerah itu, terdapat 20 pemda yang berpedikat disclaimer. ”Kondisi ini sudah lumayan. Sebab, tahun-tahun sebelumnya hanya 3-4 pemda yang memperoleh predikat WDP,” tandas Lion. (rosdi/jpip/2)
Arsip PDF :