
Gerakkan Perekonomian dengan Ekowisata
Kabupaten Banyuwangi, Champion untuk Special Category Pertumbuhan Ekonomi
Memadukan potensi alam dan budaya sebagai daya ungkit pertumbuhan ekonomi menjadi kekuatan tersendiri bagi Kabupaten Banyuwangi. Apa saja terobosan yang dilakukan kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini hingga meraih trofi special category pertumbuhan ekonomi dalam Otonomi Awards 2013? Berikut ulasan Hariatni Novitasari dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
KETIKA dilantik menjadi bupati Banyuwangi pada 21 Oktober 2010, Abdullah Azwar Anas dihadapkan pada beberapa persoalan serius. Salah satunya, angka kemiskinan yang tinggi. Kala itu, angkanya 20,48 persen. Problem serius lainnya adalah konektivitas daerah yang dikelilingi oleh gunung dan hutan (taman nasional) ini.
Untuk mencapai daerah berlabel ”Sunrise of Java” ini, dibutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam perjalanan darat dari Surabaya. ”Kalau tidak ada urusan, orang malas pergi ke Banyuwangi. Bisa mabuk di jalan,” ujar Azwar Anas.
Tetapi, siapa sangka di balik sulitnya kondisi geografis itu, Banyuwangi memiliki potensi wisata yang luar biasa besar. Salah satu andalannya adalah Segi Tiga Berlian (The Triangle Diamond), yaitu Kawah Ijen, Pantai Sukamade, dan Pantai Plengkung (G-Land).
Berbekal potensi ini, Anas bertekad untuk mengembangkan industri pariwisata berbasis alam dan budaya atau lebih dikenal dengan ekowisata (ecotourism). Dengan ekowisata, laju pembangunan tetap sinergis dengan upaya menjaga kelestarian alam. Ide pengembangan ecotourism muncul pada awal 2011, setelah dilakukan studi banding ke beberapa negara seperti Malaysia dan Thailand.
Jika dibandingkan dengan dua negara itu, pengembangan ecotourism di Indonesia terbilang lambat. Sebab, industri pariwisata kita selama ini masih berkiblat ke Bali. ”Dengan mengandalkan Bali, Indonesia hanya mampu mendatangkan 8 juta wisatawan setiap tahun. Sedangkan Malaysia mampu mendatangkan 24 juta orang per tahun,” tandas Anas.
Melihat tantangan sekaligus potensi itu, serangkaian langkah cepat dan strategis pun dilakukan. Pertama, meningkatkan konektivitas daerah dengan mengoperasikan Bandar Udara Blimbingsari di Kecamatan Rogojampi.
Pembangunan bandara ini dimulai pada 2003. Dua bupati sebelum Anas juga berusaha memulai komersialisasi bandara tersebut. Tetapi, keberuntungan belum berpihak kepada keduanya. Bupati sebelum Anas, Ratna Ani Lestari, hanya berhasil mengoperasikan pesawat latih siswa Bali International Flying Academy (BIFA).
Meyakinkan maskapai penerbangan untuk membuka rute ke Banyuwangi memang bukan perkara mudah. Tetapi, berbekal jaringan yang dimiliki selama menjadi anggota DPR, Anas berhasil menggaet Sky Aviation menjadi maskapai pertama yang melayani penerbangan komersial Surabaya–Banyuwangi pada akhir Desember 2010. Meski Sky Aviation kemudian angkat kaki, langkah maskapai itu justru disusul oleh Merpati Airlines (Agustus 2011) dan Wings Air (September 2012).
Upaya strategis kedua yang ditempuh daerah ini adalah mengumpulkan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terdiri atas unsur pengusaha, perbankan, PT Perhutani, dan pengelola taman nasional. Mereka diajak berkumpul untuk menyatukan pandangan tentang ecotourism yang sedang gencar dikembangkan.
Langkah itu diambil untuk mengatasi buruknya infrastruktur jalan dan akses masuk ke kawasan wisata andalan di Banyuwangi. Selama ini pemerintah daerah tidak dapat melakukan intervensi kebijakan karena terbentur kewenangan di lokasi wisata yang terletak di kawasan taman nasional atau cagar alam. Untuk mengatasi kendala tersebut, dibuatlah nota kesepahaman (MoU) antara pemkab dengan PT Perhutani dan pengelola taman nasional. ”Dengan MoU itu, kewenangan yang dulu tidak tertembus kini bisa kita tembus,” tegas pria berkacamata ini.
Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur jalan. Sebelum 2010, rata-rata jalan baru yang dibangun di kabupaten dengan wilayah terluas di Jawa Timur ini hanya sepanjang 90 kilometer. Pada 2012, panjang jalan tersebut meningkat menjadi 250 kilometer dan bertambah menjadi 300 kilometer pada 2013. Akses jalan yang dibangun termasuk jalan masuk ke lokasi-lokasi wisata, seperti Taman Nasional Blauran.
Keempat, penerbitan Perda No 13/2012 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Banyuwangi. Dengan perda ini, industri wisata yang ingin dikembangkan memiliki arah yang jelas. Jajaran birokrasi pemkab juga lebih mudah memahami benchmark pembangunan ekowisata yang hendak dikembangkan.
Selain mengandalkan keindahan alam, pengembangan ecotourism juga didukung promosi budaya asli Banyuwangi. Caranya, menyelenggarakan Banyuwangi Festival (B-Fest) yang dikemas dalam rangkaian peringatan Hari Jadi Kabupaten Banyuwangi (Harjaba) ke-241. Festival ini diadakan pertama pada 2012 dan dilanjutkan pada 2013.
Selain memberikan kesan positif terhadap daerah, rangkaian festival tersebut juga ditargetkan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Yang pasti, pendapatan masyarakat pun bertambah seiring dengan banyaknya wisatawan yang bertandang.
Di sisi lain, perbaikan infrastruktur jalan dan sarana transportasi yang dilakukan juga menarik minat beberapa investor untuk melirik kabupaten ini sebagai tujuan investasi. Kini pemkab sedang mempersiapkan kawasan industri seluas 2.000 hektare di Kecamatan Wongsorejo. Pelabuhan Tanjung Wangi yang berada di bawah naungan PT Pelabuhan Indonesia III pun berbenah untuk menyongsong kedatangan para investor.
Kini citra kabupaten yang dulu identik dengan santet ini pun telah berubah jauh. Kawasan wisatanya semakin jadi primadona. Angka kemiskinan pun diklaim dapat dipangkas secara dratis. Laju pertumbuhan ekonominya pun cukup fantastis, dari 6,22 persen pada 2010 menjadi 7,27 persen pada 2012. (hnovitasari)
Birokrasi Bergantung pada Sopirnya
Serangkaian upaya dilakukan Kabupaten Banyuwangi untuk mengembangkan ekowisata (ecotourism). Namun, kesiapan sumber daya manusia (SDM) juga tidak kalah penting. Berikut petikan wawancara Th e Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Mengapa Anda memilih fokus ke pembangunan ecotourism?
Pertama, kami harus paham karakter daerah. Secara geografis dan potensi, kami berbeda dengan daerah lain. Saya tidak mungkin memfotokopi Malang, Sidoarjo, atau Surabaya. Kedua, secara geografis, kami berada di ujung Jawa. Di barat ada gunung yang membatasi dengan daerah lain, di utara ada taman nasional. Ini menjadi tantangan sekaligus potensi. Maka, saya harus membuat rencana berdasar tantangan dan potensi itu. Yang pertama kami lakukan adalah membangun konektivitas. Kami bangun juga ekowisata, karena terdapat potensi taman nasional, hutan, dan cagar alam. Kalau ini dikemas dengan baik, masyarakat bisa mendapatkan manfaat.
Bagaimana kesiapan sumber daya manusia di lingkup pemkab?
Kami memang harus sabar untuk membenahi sumber daya manusia di internal pemda. Sebab, birokrasi itu sebenarnya bergantung pada sopirnya. Yang penting, sopirnya tidak ngebut, tidak ngawur. Ini butuh proses, motivasi, dan pencerahan. Maka, sejak awal penerimaan PNS 2011, yang kami rekrut harus memiliki IPK 3,5. Mereka juga harus menguasai IT dan bahasa Inggris. Kami tidak ada kompromi dengan kualifi kasi itu.
Apakah hambatan yang dialami?
Di awal, tantangannya adalah pembenahan infrastruktur. Lalu, orang juga belum percaya. Menganggap ini hanya ide. Sesuatu yang baru tentu saja ada yang mencemooh. Tapi, itu semua saya balas dengan kerja keras, bukan adu argumentasi. Tantangan cukup berat terutama ketika akan membuka penerbangan komersial. Tidak ada maskapai yang mau masuk ke Banyuwangi selama bertahun-tahun. Yang pertama masuk adalah Sky Aviation, dengan penumpang yang hanya sembilan orang. Saya terus meyakinkan beberapa maskapai. Tanpa APBN, tanpa APBD. Jadi, murni business to business.
Apa kunci untuk menggerakkan masyarakat?
Kuncinya masyarakat harus diyakinkan. Contoh, ketika banyak yang mengkritik Banyuwangi Festival, kami tidak menghindar. Ketika teman-teman LSM mengkritik Banyuwangi Etno Carnival, pagi itu saya justru minta diadakan dialog di lima radio besar. Saya ingin dialog live dengan rakyat tentang tema yang sama, menjelaskan langsung kepada masyarakat. Kami bisa menjelaskan informasi yang keliru.
Harapan ke depan seperti apa?
Ekonomi maju dan tumbuh, tapi budaya menjadi landasan daerah kami. Lingkungan juga menjadi bingkai daerah kami. Kami membangun bandara, industri pun kami bangun, tapi budaya tetap kami urus. Ekowisata kami kembangkan, tapi alam dan tradisi tetap hidup. (novi/jpip/c2)
Arsip PDF :