Pengalaman Setahun Para Difabel Menemukan Diri di Dunia Kerja
Berani Ambil Keputusan, Akses pun Terbuka
Mereka ternyata bisa mengambil keputusan. Mereka bisa beradaptasi. Dan, mereka bisa benar-benar mendapatkan pekerjaan. Jaka Ahmad, tunanetra ahli disabilitas Ayo Inklusif!, membeberkan pengalaman mendampingi para difabel ini.
TUNTAS sudah pembekalan setahun itu. Para difabel diwisuda di Hotel JW Marriott pada 6 Desember lalu. Seru, banyak tawa, dan optimisme. Setelah melalui kemah pemuda, pelatihan soft skill, serta hard skill dan magang di perusahaan, 49 difabel dinyatakan lulus dan siap bekerja.
Lima di antara mereka bahkan sudah mendapat pekerjaan dari tempat magang dan tempat lain. Inilah ikhtiar fase piloting Ayo Inklusif! sejak dibuka Desember tahun lalu oleh Gubernur Soekarwo (peristiwa wisuda ini sudah dimuat di Jawa Pos, 7 Desember halaman 27 ”Setelah Setahun Magang, Siap Terjun ke Masyarakat”).
Ayo Inklusif! merangkai kegiatan khusus untuk memperluas kesempatan kerja pemuda dengan disabilitas melalui jalur pemagangan. Magang di perusahaan-perusahaan, baik swasta maupun pemerintah, akan dapat lebih jelas dalam melihat, menilai, dan mengakui kemampuan para tenaga kerja dengan disabilitas. Sulitnya akses memang problem terbesar para difabel.
Pendampingan dilakukan secara intensif, terutama dalam mengembangkan kapasitas para penerima manfaat yang sebagian besar berada di rentang umur 22-29 tahun tersebut. Sekilas pekerjaan ini terlihat begitu berat. Namun, pada kenyataannya, bekerja bersama 50 pemuda (putus satu orang) yang mengalami disabilitas tidak terlalu jauh berbeda dengan mendampingi nondisabilitas. Hanya butuh kreativitas pendekatan.
Selayaknya pemuda, latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan para calon pemagang membentuk karakter mereka. Ditambah disabilitas yang mereka alami sangat berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial. Termasuk memengaruhi sudut pandang mereka terhadap suatu permasalahan. Di sini ada tunadaksa, tunanetra, tunawicara, tunarungu, cerebral palsy, serta slow learner.
Kondisi itulah yang acap membangkitkan rasa kasihan. Namun, tidak berarti perasaan tersebut bisa menjadi alasan untuk ”menurunkan kualitas” sistem yang telah dibentuk sebagai bagian dari pengembangan kapasitas.
Perlu dimengerti, mereka mungkin tidak pernah menentukan pilihan sendiri karena keluarga menganggap difabel kurang mampu memutuskan. Atau, ada di antara pemuda-pemudi tersebut yang tidak pernah diajari berkomunikasi yang baik karena dianggap tidak akan pernah meninggalkan rumahnya.
Namun, di sisi lain, harus dipahami bahwa ketertinggalan itulah yang harus diupayakan agar mereka menjadi setara dengan angkatan kerja lainnya. Itu berarti pemahaman atas latar belakang kehidupan mereka menjadi titik awal dalam membentuk karakteristik yang lebih siap dalam menggeluti dunia kerja tanpa harus menghilangkan empati.
Pada fase ini, pendekatan akan lebih mudah bila dilakukan sesama yang mengalami disabilitas. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan seseorang tanpa disabilitas bisa membuat perubahan tersebut selama bisa menyesuaikan dengan latar belakang mereka.
Menentukan minat pekerjaan bagi para penerima manfaat adalah tantangan pertama dalam mengerti cara berpikir dan cara mengambil keputusan mereka. Terkadang, minat mereka tidak jauh dari minat rekan-rekan sejawat yang mengalami disabilitas yang sama, seperti tunanetra memilih menjadi operator atau tuli memilih untuk menjadi cleaning service. Namun, bisa saja mereka juga memiliki minat yang membutuhkan upaya lebih besar untuk mencapainya, seperti menjadi Sekjen PBB!
Kondisi lain yang bisa dicontohkan adalah obsesi para pemuda penerima manfaat untuk mendapatkan pekerjaan di belakang meja dengan tugas yang menantang. Tetapi, biasanya pemagang hanya diberi tugas ringan sebagai pendukung dari sistem kerja yang sudah ada. Hal itu acap kali menimbulkan pertanyaan pada diri mereka, apakah mereka diperlakukan seperti ini karena dianggap tidak mampu, bahkan diskriminatif?
Pemikiran seperti itu bisa muncul karena latar belakang individu yang memang tidak pernah diberi kepercayaan oleh orang-orang di sekitar mereka. Sebab, disabilitas yang dialami dianggap sebagai ketidakmampuan dalam menyelesaikan pekerjaan ringan di lingkungan atau bahkan di rumahnya.
Untunglah, sebagian besar minat magang mereka bisa terkabul, mulai magang di galeri seni lukis, ”bengkel” sastra, penerbitan jurnal kampus Unair, pertamanan, pabrik, laundry, bengkel mesin, kantor kampus (PSLD UB), kantor perusahaan (United Tractors Astra Group), media (Jawa Pos, Nyata, JTV), hingga resto (Tanak Melayu).
Sengat membesarkan hati, perusahaan-perusahaan partner Ayo Inklusif! cukup membuka diri. Mereka peduli untuk menemukan kemampuan yang paling cocok bagi pemagang. Misalnya, Muniroh yang mendapatkan kesempatan rolling di divisi kasir dan administrasi di Auto 2000 Kertajaya atau Auladi yang diberi peluang untuk masuk dalam marketing program Auto 200 Pecindilan.
Ada juga Daffa Kelana, salah seorang pemagang dengan disabilitas kecerdasan, yang sebenarnya masih memerlukan banyak penyesuaian dalam menyelesaikan tugas rutin di Fast Bengkel Jagir. Namun, Dian Ummu selaku supervisor lebih mengutamakan untuk mengajari Dafa nilai-nilai dasar dalam bekerja, seperti kedisiplinan dan kemauan untuk maju. Upaya itu ditafsirkan sebagai ”sedekah” waktu dan tenaga oleh perempuan bercadar tersebut kepada Daffa (pengalaman para difabel bisa dilihat di ayoinklusif.jpip.or.id)
Pada akhirnya, mendampingi para calon tenaga kerja dengan disabilitas akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam (raising awareness) akan nilai-nilai keberagaman dan apa yang menyebabkan kita menjadi beragam serta pada akhirnya menerima keberagaman tersebut.
Kita tidak merasa direpotkan dengan kebutuhan mereka. Sebab, kita menyadari bahwa lingkunganlah yang menghambat mereka. Bukan kondisi fisiknya yang given. Dan, pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa bukan hanya kapasitas mereka sebagai calon tenaga kerja dengan disabilitas yang meningkat, namun kemampuan interaksi serta kepekaan kita terhadap keadaan sekitar juga mengalami peningkatan. Hingga pada akhirnya, kita tidak menyadari bahwa hal tersebut telah meningkatkan kita sebagai pekerja yang lebih baik, lebih inklusif.
Artikel asli: