Sekali Lagi, Inovasi!
KOMPONEN terpenting dalam arena politik adalah inovasi. Survei, indeks atau apapun yang menjadi basis keputusan politik, tetaplah inovasi yang dibutuhkan. Tanpa inovasi, hasil survei, indeks, atau elektabilitas, hanya jadi pemanis basa-basi perbincangan antar elit politik.
Philippe Narval, penulis buku ”Die freundliche Revolution” (Revolusi Yang Bersahabat, 2018), menyatakan perubahan besar-besaran teknologi, geopolitik serta ekologi, tentu mengakibatkan demokrasi sangat membutuhkan inovasi. Supaya demokrasi tetap setia pada nilai-nilai intinya, yakni kebebasan, kesetaraan, juga solidaritas.
Ada perbedaan mendasar antara praktek politik abad ke-19 yang hierarkis, dari demokrasi abad 21. Praktek politik dua abad silam menekankan kuasa elit politik dalam organisasi untuk tampil di arena publik. Sosok populer di luar partai politik dianggap belum berpotensi untuk memimpin publik. Selama seratus tahun lebih praktek ini dikembangkan dalam sistem demokrasi. Hanya mereka yang berada di dalam partai politik, punya peluang memimpin.
Demokrasi abad 21 tentu berbeda dari praktek politik abad 19 itu, papar Narval. Sebab, demokrasi kini sudah berdasarkan model yang gesit, kolaboratif, dan berorientasi pada misi. Kegesitan meluas karena informasi mudah diperoleh warga sehingga mendorong kolaborasi aktif dari warga. Misi politik tak lagi hanya menjadi misi partai, melainkan sudah menjadi misi publik. Maka, dalam demokrasi abad 21, misi partai harus mengalah dari misi publik. Jika tidak, publik bisa menghukum partai melalui berbagai cara, diantaranya ogah mencoblos partai.
Sejak diberlakukan pemilihan langsung pada tahun 2004 sesungguhnya Indonesia sudah memasuki demokrasi abad 21 itu. Lepas dari perdebatan apakah cara memilih langsung itu sesuai ideologi bangsa atau tidak, yang jelas proses pelimpahan mandat dari rakyat kepada pemimpin melalui Pemilu telah dilakukan secara langsung. Tak lagi melalui wakil rakyat. Mandat diberikan langsung dari rakyat kepada pemimpin terpilih.
Masalahnya, sudah empat kali Pemilu melalui pemilihan langsung calon presiden (capres), ternyata sebagian besar cara berpikir internal parpol di Indonesia belum beranjak dari praktek politik abad 19. Bahwa, masih ada parpol yang menganggap sosok ketua umum (ketum) parpol sebagai sosok pilihan untuk disodorkan ke publik guna dipilih dalam Pemilu. Padahal, sosok ketum terkait jelas-jelas punya elektabilitas rendah dibanding sosok non-parpol yang sudah diketahui kinerjanya oleh publik.
Produk Demokrasi Inovatif
Inovasi berdemokrasi bisa melahirkan kepemimpinan otentik. Kepemimpinan ini menekankan transparansi, keaslian sekaligus kejujuran. Pemimpin otentik membangun hubungan tulus dengan bawahan atau warga biasa melalui cara menginspirasi, terus memompa kepercayaan serta membina situasi yang sehat.
Gurubesar Rawls College of Business, AS, William L. Gardner, dalam responnya kepada Mats Alvesson dan Katja Einola yang termuat dalam artikel ”Authentic leadership theory: The case for and against” di jurnal ‘The Leadership Quarterly’ 2021 menyebut, pemimpin otentik memang selalu punya ketegangan antara perannya dalam pekerjaan dan hubungannya dengan para pengikut. Namun, ketegangan justru bermanfaat untuk membangkitkan aspirasi serta motivasi diantara keduanya. Sang pemimpin dan para pengikut.
Dalam konteks Indonesia, telah banyak contoh pemimpin otentik yang lahir besar dari rahim publik. Mereka menebar inspirasi sekaligus aspirasi untuk misi ke masa depan yang jelas. Walau dalam perkembangan berkomunikasi pada massa pengikut pernah terjadi ketegangan akibat pilihan kebijakan, namun seiring berjalannya waktu, ketegangan surut tanpa merenggangkan hubungan antara pemimpin dan massa. Kecuali, dalam kasus-kasus spesifik, seperti kasus mengkhianati janji kepada publik.
Tara Wernsing dalam tulisan bertajuk ”Leader Self-Awareness and Follower Psychological Empowerment Across Cultures” dalam buku ‘Authentic Leadership and Followership” (2018) menyebut beberapa hal yang menjadi ciri pemimpin otentik.
Pertama, sadar diri. Pemimpin otentik menilai kelemahan, kekuatan, dan menilai diri sendiri agar lebih otentik, lebih khas dibanding orang lain. Praktek kesadaran diri ini diantaranya mencakup refleksi diri, selalu meminta umpan balik, serta sadar akan perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Kesadaran diri yang menunjukkan kepada siapapun bahwa diri sang pemimpin mampu memproses perspektif mereka yang dipimpin. Tidak mengkhianati, tidak gampang umbar janji.
Kedua, bersikap adil dan berimbang. Soal satu ini memang juga tidak mudah, apalagi jika dihadapkan pada berbagai faksi kekuatan yang ada. Misal, bukan saja dari dalam parpol, melainkan juga ketika menghadapi kepentingan parpol yang bisa berbeda dari kebutuhan publik. Ketika membuat keputusan, pemimpin otentik perlu mempertimbangkan pendapat yang mendukung dan menentang. Contohnya, kehadiran relawan yang terhimpun dalam berbagai faksi, ternyata sulit disatukan ke dalam satu payung bersama.
Namun demikian, seorang pemimpin otentik, tulis Tara, harus bisa mendorong para pengikutnya berbagi pendapat dan pengalaman mereka sambil menghindari potensi konflik. Perlu pemrosesan yang adil dan seimbang yang menunjukkan setiap pengikutnya dihargai dan pemimpin bersedia mendengarkan.
Ketiga, soal transparansi relasional. Transparansi berkaitan pada hubungan antara pemimpin dan yang mengikutinya. Pemimpin otentik transparan dalam hubungan bukan saja kepada parpol yang mengusungnya melainkan juga harus transparan kepada para relawannya. Ia tetap jujur ketika berbagi pikiran dan perasaan. Ini mungkin termasuk menawarkan umpan balik yang konstruktif kepada relawan atau kader parpol bila perlu, serta mengakui ketika dirinya salah. Dengan melakukan itu, seorang pemimpin otentik memimpin dengan memberi contoh dan mendorong transparansi diantara relawannya serta para pendukungnya.
Keempat, fokus jangka panjang. Ini sering terabaikan akibat desakan kepentingan parpol yang bersifat sesaat. Padahal, komponen berupa kemampuan untuk memiliki fokus jangka panjang ini sangat penting. Daripada hanya berfokus pada tujuan jangka pendek, para pemimpin dapat memotivasi relawan atau kader parpol untuk berjuang mencapai tujuan yang mungkin membutuhkan lebih banyak waktu, kerja keras, dan kesabaran. Kualitas ini penting karena menjaga tim relawan cum kader parpol di jalur untuk sukses dalam jangka panjang.
Last but not least, urai Tara, pemimpin otentik produk demokrasi inovatif juga berpijak di atas misi yang jelas. Pemimpin otentik didorong oleh misi. Ini berarti bahwa mereka menempatkan tujuan kenegaraan atau misi tim relawan serta parpolnya di atas kepentingan diri mereka sendiri. Pemimpin yang digerakkan oleh misi jelas, ingin tim mereka berhasil demi mencapai tujuan daripada sekadar mendapatkan lebih banyak kekuatan.
Peneliti pada JPIPNetwork
Sumber berita : https://www.rmoljatim.id/2022/10/05/sekali-lagi-inovasi