Demo Mbelgedes
ADA dua demo berbeda dari elit pemerintah desa ke Senayan. Gelombang pertama, rombongan kepala desa (kades). Di antara orasi berbuih-buih, intinya mereka minta perpanjangan jabatan. Dari enam ke sembilan tahun kali tiga periode. Kurang banyak dari peraturan saat ini, enam tahun untuk tiga periode.
Demo ini menular ke bawahan kades, yakni para perangkat desa. Mereka waswas kalau hak-hak mereka terpangkas bila UU 6/2014 tentang Desa diamandemen demi melayani tuntutan para kades. Para perangkat menuntut tak disamakan masa dinasnya dengan kades, tapi tetap dipensiun umur 60. Mereka juga minta status semacam ASN dan peningkatan macam-macam kesejahteraan.
Tema demo kades dan perangkat desa ini mirip, yakni Mbelgedes (“Menuntut Bisa Eksis lebih Lama jadi pengGEde DESa”). Bukan demo heroik demi kepentingan dan kegentingan warga desa. Meskipun ada tuntutan peningkatan alokasi APBN ke desa, kalau terealisasi toh uangnya akan lewat tangan mereka juga.
Demo berbus-bus ini lancar sentosa. Mereka berjoget dan orasi sepuas-puasanya. Bahkan, berani mengancam partai politik, yang tak mendukung tuntutan mereka di DPR akan “dihabisi” di desa. Padahal, perubahan UU Desa tidak menjadi bagian dari 39 RUU yang masuk program legislasi nasional 2023 yang diketok Puan Maharani dalam rapat paripurna DPR (15/12/2022).
Presiden Jokowi, yang luput mendapat perpanjangan masa jabatan dan tambahan periode kepresidenan, dikabarkan setuju. Di parlemen juga belum ada nada penolakan, meski tuntutan perpanjangan jabatan itu dikritik pakar sebagai ngelantur dan bisa bikin korupsi makin subur. Mungkin mereka mikir, benarkah kades bisa menghabisi suara parpol di desa? Belajar dari banyak pilkades, pengaruh kades baru mulus kalau ada fulus.
Lalu, mengapa 9 tahun? Angka jabatan kades selalu unik. Tidak linier lima tahunan seperti masa jabatan hasil pemilu lainnya, seperti presiden, gubernur, bupati, wali kota, atau legislator. Ini peninggalan masa lalu sejarah ndeso.
Kolonial Belanda mulai mengatur desa atau inlandsche gemeenten tahun 1854. Desa diberi otonomi terbatas, termasuk memilih lurah (nama otentik kades sebelum dikhususkan jadi kepala kelurahan di kota). Terserah masing-masing desa berapa lama masa jabatannya. Lurah ndeso bisa menjabat cukup lama, bahkan seumur hidup.
Penjajah Jepang membatasi masa jabatan kucoo (ku=kepala, coo=desa) jadi 4 tahun. Coo membawahi aza (dusun, kampung). Sistem fasistik Jepang juga memperkenalkan pembentukan tonarigumi di bawah aza. Tonarigumi ini berfungsi mengawasi pergerakan penduduk sekaligus mobilisasi. Setelah merdeka, tonarigumi ini menjadi RT/RW.
Pelaksanaan periodisasi lurah, bisa kita tengok sejarah mikro desa. Banyak desa yang menceritakan sejarahnya di website daerah. Desa Madigondo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan, misalnya. Tercatat dipimpin lurah pertama Haji Dulah, lalu diganti Barnawi (menantunya), Madiyo, Mbah Sumorejo, Iskandar, Kusnadi, Tri Ahmadi, Bahri, Andik Budianto, dan kini Sulistiyono SPd. Sayang sekali tak ada data periodisasi ke-lurah-annya.
Yang cermat dalam mencatat periodisasi adalah Desa Krompaan, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal. Tiga lurah pertama menjabat seumur hidup, yakni Karyo (1921-1930), H. Jamsari (1930-1947), dan H. Machrus (1948-1985). Dua lurah menjabat 8 tahun, yakni M. Sodikin SmHk (1986-1994) dan Slamet Widodo BSc (1994-2001). Solikhin menjabat dua periode 6 tahun (2001-2013), dan Junaedi (masih menjabat sejak 2013).
Sejarah itu menunjukkan periodisasi jabatan lurah tak pernah ada yang 5 tahun. Bisa seumur hidup, 8 tahun, 6 tahun, atau 4 tahun. Keluarnya angka “9 tahun” dalam demo mbelgedes itu juga tak jelas dasarnya. Hanya bersandar pada asumsi politis. Kata menteri desa, kalau masa jabatan 9 tahun, kades akan punya lebih banyak waktu menyejahterakan warganya. Dan desa tak perlu terlalu sering menghadapi ketegangan pilkades.
Kalau itu logikanya, kenapa tidak sekalian kades seumur hidup. Toh ada contohnya dalam sejarah. Sekalipun pilkades bikin desa tegang sampai mau sobek, penyembuhannya cukup waktu. Kalau masa hidup sang kades cukup lama, seperti H Machrus yang memerintah 37 tahun, pasti ketegangan pilkades lama-lama kalis.
Atau, biar tak ada ketegangan, pilkades dihapuskan sekalian. UU-nya diubah, kades ditunjuk saja oleh bupati dari ASN. Seperti lurah di kota. Toh, selama ini kelurahan terlihat lebih baik-baik saja dibanding desa. Dan, tata kelola kelurahan juga tidak terasa bias politik, serta lebih siap menerima dinamika zaman.
Sedangkan desa memang selalu tidak permai saat pilkades. Gaduh antartetangga, jor-joran money politic, bahkan judi. Maka, pilkades jarang menjadi faktor kemajuan desa. Malah sebaliknya. “Demokrasi ndeso” ini menggerus energi guyub warga. Juga membuat banyak bias kebijakan di desa, misalnya pilih kasih pembagian bansos atau distribusi pembangunan untuk warga pendukung dan non-pendukung kades.
Tanah desa memang terlalu sempit dan tidak lagi gembur untuk persemaian demokrasi langsung.(*)
Rohman Budijanto
Editor Senior Jawa Pos
Sumber: Jawa Pos Koran – https://www.jawapos.com/opini/29/01/2023/demo-mbelgedes/