Antisipasi Khusus bagi Difabel
5 mins read

Antisipasi Khusus bagi Difabel

Mendorong Penerapan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif

Bencana bisa menjadi petaka berganda bagi difabel. Termasuk di musim rawan banjir, angin ribut, atau longsor pada musim hujan saat ini. Siapa yang seharusnya menjadi garda depan? Berikut laporan Ahmad Faizin Karimi dari JPIP.

SAAT Lombok digoyang gempa pada Agustus lalu, Asim turut panik. Difabel daksa itu tinggal bersama dengan kakak dan menantunya. Ketika gempa datang, kakak dan menantunya tidak sempat membantunya menyelamatkan diri keluar rumah. Keduanya langsung berlari menyelamatkan diri ke jalan raya dan spontan meninggalkan ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Nusa Tenggara Barat itu berjuang sendiri. Untung, pria 47 tahun itu selamat. Dia berlari tertatih-tatih dengan menggunakan tongkat (https://difabel.tempo.co/read/1115671/kisah-asim-disabilitas-yang-selamatkan-diri-saat-gempa-lombok).

Pengalaman Asim tersebut merupakan gambaran bagaimana penyandang disabilitas lebih rentan menjadi korban bencana. Program penanggulangan bencana inklusif belum terlalu serius diimplementasikan. Padahal, berada di Cincin Api Pasifik, Indonesia memiliki potensi bencana yang tinggi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam 15 tahun terakhir, terjadi 24.751 bencana alam dan sosial. Lima besar adalah banjir (7.962 kali), puting beliung (5.470 kali), tanah longsor (4.424 kali), kebakaran (2.364 kali), dan kekeringan (1.875 kali). Total korban meninggal mencapai 196.898 jiwa, luka-luka 351.134 orang, dan lebih dari 35 juta orang mengungsi (http://dibi.bnpb.go.id).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggula ngan Bencana (PB) telah menetapkan bahwa pemda memiliki tanggung jawab melindungi masyarakat dari dampak bencana. Caranya, melakukan kegiatan dan pemanduan pengurangan risiko bencana (PRB) yang inklusif dalam pembangunan. PRB inklusif tersebut sangat penting mengingat masih minimnya keterlibatan kelompok rentan dalam perencanaan dan implementasi PRB. Padahal, kelompok rentan –difabel, perempuan, lansia, dan kelompok miskin– tersebut memiliki risiko tinggi.

Dengan memiliki dan menjalankan PRB inklusif, sesungguhnya difabel tidak hanya bisa menyela matkan diri sendiri. Mereka juga bisa membantu difabel lain, bahkan nondifabel, untuk menyelamatkan diri saat bencana. Salah satu praktik PRB inklusif adalah yang dicontohkan LSM Handicap International dalam A Basis Guide to Disability and Disaster Risk Reduction (lihat grafis).

Workshop Penyusunan Penganggaran Daerah Berbasis PRB Inklusif yang diadakan BNPB dengan didukung USAID dan ASB (Arbiter-Samariter-Bund) di Hotel Santika Premiere Surabaya (21/11) mengupayakan pemda di Jawa Timur memasukkan PRB inklusif sebagai referensi penganggaran keuangan daerah. ’’Penganggaran yang spesifik untuk kelompok rentan sangat minim,’’ kata Sigit Pramono Dewo, Kabag Program dan Anggaran Biro Perencanaan BNPB, kepada JPIP.

Perencana Madya Bappenas Kuswiyanto mencontohkan, yang sudah melaksanakan PRB inklusif, antara lain, Jogjakarta dan Jawa Tengah. ’’Mereka tidak hanya sampai penyusunan rencana kontingensi (minimalisasi risiko dalam kedaruratan), tapi juga pada implementasinya,’’ terangnya. Bahkan, dalam perda penyandang disabilitas Jogja yang segera disahkan, diatur hak penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana.

Jika melihat sebaran bencana, penerapan PRB inklusif di Jawa Timur tergolong urgen. ’’Di antara 27 daerah yang hadir, 15 daerah belum punya PRB, sedangkan 12 daerah sudah punya PRB, tapi sampai saat ini belum menjadi rujukan dalam penyusunan RPJMD maupun RKPD,’’ ujar Luluk Ariyantiny, ketua PPDI Situbondo yang menjadi bagian dalam Tim Pengarusutamaan PRB Inklusif OPD Jatim. Diharapkan, di semua daerah, organisasi disabilitas terlibat, mulai perencanaan sampai evaluasi serta pengawasan.

Difabel di daerah-daerah juga bisa terlibat lebih aktif,’’ kata Tri Febri Khoirun Nidhom, tunanetra kader Progresif Ayo Inklusif!.
(jpipnetwork.id)

Difabel Lebih Cermat Mendata

SEMANGAT inklusif menanggapi bencana ternyata kian menggembirakan. Berikut wawancara dengan Luluk Ariyantiny, pemakai kruk, ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), tadi malam.

Bagaimana upaya mendorong pengurangan risiko bencana (PRB) di Jatim?

Jatim sudah lebih dari dua tahun berusaha memperkenalkan PRB yang lebih ramah disabilitas. Beberapa BPBD (badan penanggulangan bencana daerah) bersikap terbuka atas partisipasi teman-teman difabel. Misalnya, Lumajang, Pacitan, Kabupaten dan Kota Kediri, Nganjuk, Probolinggo, Lamongan, Gresik, Ponorogo, serta Kabupaten dan Kota Malang.

Di antara mereka ada yang mengontak saya untuk mencarikan teman-teman difabel yang bisa diajak merancang PRB yang inklusif. Mereka pun langsung kerja bersama. Mereka tidak melibatkan difabel kadang karena tidak tahu.

Di level pusat, BNPB, juga sudah ada Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2014 yang sudah inklusif karena melibatkan teman-teman difabel.

Setelah teman-teman difabel dilibatkan, apa perubahannya?

Kami para difabel menjadi subjek, bukan sekadar objek. Kami diajak membahas bagaimana pelatihan penanggulangan bencana untuk teman-teman difabel. Mereka juga kami pahamkan bahwa para korban bencana juga lebih mudah percaya dengan sesama difabel.

Salah satu yang kami sampaikan, setelah bencana, yang dilakukan adalah pendataan. Kalau yang melakukan pendataan adalah difabel, akan lebih cermat. Misalnya, antara pengguna dua tongkat dan satu tongkat berbeda.

Apakah sudah ada contoh konkret pelibatan teman-teman difabel dalam bencana?

Saat gempa Lombok. Sebuah NGO bernama ASB, mengajak teman-teman Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) untuk mendata para pengungsi. Yang di data bukan disabilitasnya, tetapi hambatannya. Sebab, setelah bencana, bisa saja orang yang semula nondifabel jadi difabel karena punya hambatan baru.

Yang didata, misalnya, hambatan gerak seperti apa, hambatan dengar, atau hambatan penglihatan sesuai dengan standar Washington Group Question. Pendataan yang sesuai dengan hambatan itu sangat membantu BPBD dalam pertolongan kepada para korban.

Ada contoh lain difabel terlibat langsung penanganan bencana?

Ada contoh setelah bencana gempa Palu. Teman tunanetra dilatih ASB di Banjarmasin untuk menyuling air. Nah, hasil pelatihan itu dipraktikkan di Palu. Berhasil.

Yang lebih penting, difabel bisa melindungi dirinya saat bencana. Ini penting karena jangan sampai setelah bencana, para difabel malah menjadi difabel ganda (karena cedera). Di Bantul, setelah gempa, kabarnya, penyandang disabilitas menjadi empat kali lipat. (roy) 

Arsip PDF :