Saat Perusahaan Mendapat Order Besar…
PT Wangta Agung, Penerima Piala Emas Otonomi Award, sebagai Pionir Ketenagakerjaan Inklusif
Tanpa ragu PT Wangta Agung membuka diri bagi kaum difabel untuk menjadi pekerja. Terinspirasi undangan ’’perjamuan’’ yang tak disambut. Juga keteladanan ayah yang membangun perusahaan. Berikut liputan Ahmad Faizin Karimi dari JPIP untuk Ayo Inklusif!.
DODO Rizki Hariono cekatan memainkan mesin jahit di depannya. Tangannya dengan cermat mengarahkan alas bagian dalam sepatu ke jarum mesin jahit. Tanpa lama, sosok 27 tahun itu menjahit label merek di alas tersebut.
Pemuda asal Malang itu hanya punya satu kaki. Namun, satu kaki tersebut cukup baginya untuk mengoperasikan tombol mesin jahit elektrik. Dia tak sulit mencapai target melabeli 100 pasang alas sepatu per jam.
Dodo merupakan salah seorang pekerja difabel di PT Wangta Agung, produsen sepatu di daerah Tanjungsari, Surabaya. Selain Dodo, di perusahaan yang memproduksi brand lokal seperti Ardiles dan Eagle itu juga ada seratusan pekerja difabel di antara dua ribuan karyawan. Yang terbanyak adalah tuli (85 orang) dan tunadaksa (15 orang).
’’Sebelumnya, saya kerja servis HP. Lalu, saya diberi tahu teman sesama difabel yang sudah bekerja di sini bahwa Wangta Agung tidak menolak lamaran kerja dari kaum difabel,’’ ungkap Dodo saat ditemui di area produksi Wangta Agung (29/10).
Meski baru dua bulan bekerja menjahit sepatu, kualitas dan kuantitas pekerjaannya sesuai dengan target. ’’Ya, saya sih sebelumnya tidak bisa jahit. Tapi, disini ada pelatihan bagi karyawan baru. Selama 20 hari dilatih menjahit, ternyata saya bisa,’’ lanjutnya.
Ditanya soal suasana kerja, Dodo mengaku sangat nyaman bekerja di perusahaan yang berdiri sejak 1950 tersebut.
Bukan hanya Dodo. Ujang Latif pun merasakan hal yang sama. ’’Senang. Senang kerja di sini. Orang-orangnya baik,’’ kata Ujang dengan bahasa isyarat.
Pemuda asal Tasikmalaya itu sudah setahun menjadi karyawan di PT Wangta Agung. Tuli yang dia sandang tidak memengaruhi kerjanya. Hari itu dia kebetulan ditugaskan mengerjakan Latex Tempong, yakni melekatkan bagian samping dalam sepatu. Target 80 buah per jam pun mampu dilampaui.
Komitmen PT Wangta Agung untuk menjadi perusahaan inklusif tidak lepas dari nilai-nilai yang ditekankan Daniel Kristianto, sang CEO (chief executive officer), kepada seluruh jajarannya. Pengusaha muda berusia 35 tahun itu cukup tegas soal inklusivitas.
’’Perusahaan jangan sampai menilai bahwa pekerja dengan disabilitas itu sudah pasti tidak mampu melakukan apa-apa. Jangan anggap mereka itu masalah. Jika kita beri kesempatan, mereka akan membuktikan diri,’’ terangnya.
Kesungguhan Daniel mengakomodasi pekerja dengan disabilitas sudah diakui banyak pihak. Selain dari komunitas-komunitas difabel, perusahaannya pernah mendapat penghargaan dari Ke menterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2013 atas pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di tempat kerja.
Yang mutakhir, PT Wangta Agung menerima piala emas Otonomi Award Ayo Inklusif! kategori utama Sektor Swasta sebagai Pionir Terdepan untuk Ketenagakerjaan Inklusif. Daniel menerima piala yang diserahkan Mendagri Tjahjo Kumolo dengan didampingi Gubernur Jatim Soekarwo dan Dirut Jawa Pos Koran Leak Kustiya dalam acara malam good practices awards kolaborasi Kovablik-Otonomi Awards di Hotel Shangri-La, Surabaya (23/10).
Lulusan akunting Seattle University itu mengakui, pekerja dengan disabilitas justru punya produktivitas yang sama dengan nondifabel. ’’Mereka pasti punya kelebihan yang bisa kita manfaatkan. Bahkan, mereka cenderung lebih disiplin, tertib, dan patuh pada perusahaan,’’ lanjutnya.
Karena itu, Daniel membuat kebijakan untuk tidak memberikan batasan pada disabilitas tertentu yang bisa diterima kerja di perusahaannya. ’’Ya, sejauh disabilitasnya tidak memengaruhi dia dalam bekerja,’’ ujarnya.
Keberpihakan Daniel kepada kaum difabel diawali pada 2010. Waktu itu, dia membutuhkan banyak karyawan karena mendapat order besar. Namun, meski perusahaan sudah menyebarkan informasi lowongan kerja, tidak banyak orang yang mau mendaftar.
’’Lalu, saya ingat pelajaran yang saya dapatkan di gereja. Tentang perumpamaan seorang raja yang mengundang perjamuan. Mereka yang diundang tidak mau datang. Raja itu kemudian memerintahkan agar mengundang siapa saja yang lain,’’ ungkapnya.
Daniel lalu memerintah bagian HRD perusahaan untuk mencari orang-orang difabel. Tidak butuh waktu lama, didapatlah 35 pekerja difabel. Dengan sedikit pelatihan, pekerja-pekerja itu mampu menyelesaikan order perusahaan. ’’Saya menghargai usaha mereka. Orang disabilitas kalau mau bekerja juga akan mampu hidup. Saya lihat sendiri mereka cepat kerjanya,’’ ujarnya.
Dari pengalaman itu, Daniel kemudian membuat kebijakan bahwa perusahaan tidak boleh membedakan difabel dengan nondifabel. Bahkan, tidak mempersyaratkan pelamar memiliki ijazah pendidikan formal. Dalam keseharian kerja pun, pekerja difabel dan nondifabel tidak dibedakan. Baik target, lokasi, maupun standar gajinya.
Kepedulian Daniel juga dibentuk dari didikan Lukman Widjaja, sang ayah yang membesarkan PT Wangta Agung. ’’Papa dulu mengalami penyakit parkinson. Saat masih hidup, beliau menekankan kepada kami anak-anaknya, kita ini hidup harus membawa dampak bagi sekitar. Memikirkan satu karyawan berarti memikirkan satu keluarga karena karyawan kami itu akan membantu keluarganya,’’ terangnya.
Terkait dengan kesadaran disabilitas, Daniel berharap ada peran lebih dari pemerintah, organisasi disabilitas, dan asosiasi bisnis untuk mendorong perusahaan bisa menerapkan dunia kerja inklusif yang lebih baik. ’’Misalnya, memberikan pelatihan, baik soal teknis pekerjaan maupun komunikasi dengan pekerja difabel,’’ katanya. (www.jpip.or.id)
Arsip PDF :