Buruk Muka, Perda Dicabut
7 mins read

Buruk Muka, Perda Dicabut

Otda dan MK yang Cabut Wewenang Mendagri Batalkan Peraturan Daerah

Setelah Mendagri tak boleh lagi mencabut perda, apa jalan tengah untuk menjaga agar perda tak menyalahi aturan di atasnya? Judicial review lewat Mahkamah Agung bisa makan waktu. Berikut ulasan Rhido Jusmadi, dosen FH Universitas Trunojoyo Madura dan peneliti JPIP.

MENTERI dalam negeri selama ini cukup rajin dalam membatalkan peraturan daerah (perda). Pada 2016 pembantu presiden itu telah membatalkan 3.143 perda provinsi dan kabupaten/kota. Kebanyakan karena dianggap menghambat investasi dan pembangunan perekonomian.

Kini kewenangan besar itu dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 137/PUU-XIII/2015 tentang materi UU 23/2014 tentang Pemda yang diumumkan pekan lalu. MK membatalkan kewenangan membatalkan perda yang dimiliki gubernur atau menteri sebagaimana terdapat pada pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) UU tersebut.

Hakim MK setuju dengan argumen para pemohon yang terdiri atas Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan beberapa pemda, bahwa tindakan Kemendagri yang telah membatalkan perda tersebut telah melampaui kewenangannya sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Pembatalan atas produk peraturan perundang-undangan (perda) itu menjadi kewenangan lembaga yudikatif (pengadilan).

Selain itu, tindakan pembatalan perda tersebut dianggap pemohon merupakan bentuk intervensi pemerintah pusat terhadap praktik penyelenggaraan pemda. Padahal, berdasar pelaksanaan prinsip desentralisasi (otonomi daerah), tiap-tiap daerah dijamin untuk mengurus urusan daerahnya secara mandiri.

Mendagri pun mempunyai argumen praktis. Pembatalan 3.143 perda tersebut merupakan upaya pemerintah untuk melakukan deregulasi, khususnya di sektor perekonomian, mulai tingkat pusat hingga daerah. Tujuannya, meminimalkan hambatan-hambatan dalam upaya meningkatkan per tumbuhan ekonomi dan iklim investasi yang saat ini sedang dalam masa kelesuan akibat tidak kunjung redanya dampak krisis ekonomi global. Pada kondisi tersebut, pemerintah telah lama risau dengan terjadinya praktik biaya tinggi. Banyak perda dianggap ”hanya” berorientasi untuk menggenjot pendapatan asli daerah tanpa memikirkan keramahan iklim usaha.

Pembatalan perda tersebut juga dianggap tidak terlepas dari rangkaian untuk mendukung implementasi paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK, khususnya jilid I dan jilid XII. Di antaranya, perombakan 98 peraturan agar menghilangkan duplikasi, memperkuat koherensi, dan konsistensi serta memangkas peraturan yang menghambat daya saing industri nasional. Dampaknya pun dianggap positif.

World Bank lewat ease of doing business survey (survei kemudahan berusaha) pada Januari 2017 menaikkan peringkat Indonesia dari 106 tahun lalu menjadi 91 pada tahun ini. Targetnya naik ke ranking 40. Jelas, putusan MK yang tak lagi melegalkan pembatalan perda di tangan Mendagri dianggap menghambat mencapai ”cita-cita” kemudahan usaha itu.

Namun, niat baik yang hendak dilakukan pusat tersebut tentu harus didasarkan pada konsep yang jelas. Juga, tak boleh melanggar konstitusi dan kewenangan lembaga lain, yaitu lembaga peradilan. Itu sesuai dengan konsep trias politica yang diikuti ketatanegaraan kita.

Perlu diingat pula, perda punya kedudukan khusus. Hanya dua jenis perundang-undangan yang diberi hak memberikan sanksi pidana. Yakni, undang-undang dan perda. Keduanya dibuat pemerintah dengan rakyat (diwakili DPR/DPRD). Jadi, secara substansi, undang-undang dan perda itu kuat karena hasil rembukan antara pemerintah dan rakyat.

Sedangkan pemerintah, seperti Mendagri, meski secara hierarki meru pakan ”atasan” daerah, kekuasaannya didapatkan dari penunjukan oleh presiden. Yang dipilih rakyat adalah presiden, bukan Mendagri. Karena ada unsur rakyat dalam penyusunan perda itu, semestinya tak dengan mudah dibatalkan.

Memang secara hierarki perundang-undangan, perda di bawah peraturan Mendagri dan peraturan pemerintah. Namun, tidak berarti kewenangan Mendagri untuk mengoreksi aturan di bawahnya, terutama perda, bersifat mutlak. Apalagi, perda adalah cermin sikap pemerintah dan rakyat daerah. Apalagi, Mendagri/Kemendagri tak terlihat getol menjalankan fungsinya mendampingi penyusunan perda itu. Banyaknya perda yang dianggap bertentangan dengan aturan di atasanya sebenarnya cermin dari kinerja Mendagri sendiri.

MK cukup jeli melihat itu sehingga mengoreksi praktik pemerintahan tersebut. Berdasar substansi pertimbangan MK yang terdapat dalam putusannya khusus mengenai pembatalan perda, yaitu pertama, dalam perspektif negara kesatuan, pemerintahan atasan (dalam hal ini Mendagri/gubernur) berwenang melakukan kontrol terhadap unit pemerintahan di bawahnya (kabupaten/kota). Salah satu upaya kontrol dari Mendagri/gubernur tersebut adalah melalui kewenangan ”executive abstract prereview” atas raperda yang akan disahkan daerah, bukan mekanisme ”review” atas perda yang sudah berlaku mengikat secara umum.

Kedua, Mendagri sebagai representasi pemerintah pusat dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah merupakan pemegang kekuasaan eksekutif. Kekuasaan eksekutif tidak dapat melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan (perda) karena kewenangannya ada pada lembaga yudikatif (pengadilan), dalam hal ini adalah Mahkamah Agung (MA) untuk peraturan perundang-undangan yang ada di bahwa undang-undang, melalui mekanisme judicial review.

Ketiga, pemerintah melalui Kemendagri harus mendorong pola pengawasan yang preventif, bukan pola represif. Upaya yang harus dilakukan adalah upaya evaluasi dan pembinaan kepada daerah, khususnya dalam konteks pembuatan perda secara berkelanjutan. Raperda yang kurang tepat dapat segera dikembalikan ke daerah untuk direvisi sehingga dapat meminimalkan tumpang tindih dan kesalahan logika hukum. (www.jpipnetwork.id)

Mendagri Jangan Cegat di Ujung

BAGI Redhi Setiadi, advisor lembaga kerja sama internasional Jerman GIZ yang bergerak di Jawa Timur, putusan MK itu penting untuk penguatan otonomi daerah dan memacu kinerja Mendagri.

Ada beberapa faktor kenapa kewenangan Mendagri dalam membatalkan perda memang pantas dicabut. Pertama, Mendagri selama ini lebih menjalankan fungsinya sebagai ’’pengadil” yang berorientasi pada ’’punishment”, bukan sebagai supervisor yang memberikan arahan serta bimbingan teknis ketika daerah-daerah akan menyusun rancangan perda. Khususnya terkait hal-hal yang dapat mengganggu iklim investasi dan jalannya perekonomian di daerah. Supervisi bisa jadi jalan tengah kalau tak mau melakukan review lewat MA yang makan waktu juga.

Kedua, pembatalan 3.143 perda pada 2016 terlihat sebagai upaya yang dipaksakan dan tidak akuntabel dalam proses review-nya. Daerah tak dilibatkan dan tak ditanya dengan serius, kenapa perda dibatalkan. Padahal, pembuatannya sudah diproses dengan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kalau satu perda dibuat dengan, katakanlah, Rp 200 juta, uang yang terbuang hampir Rp 630 miliar. Padahal, banyak perda yang dibuat dengan biaya lebih mahal dari itu.

Redhi Setiadi

Main cabut perda itu boleh dikatakan merupakan cermin ketidakmampuan Mendagri dan Kemendagri melakukan pendampingan dan supervisi saat penyusunan perda, sehingga mencegat di hasil akhir (ujung) dan main coret. Tentu saja itu tidak memberikan pelajaran yang baik tentang sustainabilitas, inovasi, dan efektivitas dalam penyusunan dan pemberlakuan perda. Selalu berada dalam lingkaran trial and error.

Ketiga, dalam kerangka otonomi daerah, eksistensi hubungan antara pusat dan daerah harus dilihat dalam kerangka pola hubungan ’’bapak dan anak”, bukan hubungan persaingan. Mendagri sebagai ’’bapak” harus dapat mengayomi, mengajari, dan mem bimbing ’’anaknya’’. Terlebih, saat ini sang ’’anak” diberi tanggung jawab yang melimpah. Kalau dengan gampang kehendak daerah dibatalkan tanpa penjelasan yang memadai dan dialog yang sehat, tentu ini praktik tak baik otonomi daerah. Berbau sentralisasi.

Contoh baik dapat dilihat dari upaya yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) melalui upaya mendorong tumbuhnya inovasi di daerah melalui Kompetisi Inovasi Publik (Sinovik) yang secara reguler dilaksanakan sejak 2014. Justru Kemendagri yang belum terlalu menonjol dalam mengapresiasi inovasi dan praktik-praktik baik. Yang menonjol sebagai penghukum. (www.jpipnetwork.id)

Arsip PDF : 

Leave a Reply