Insentif Naik Mekarkan Inovasi
Menjaga Optimisme Daerah di Balik Pesimisme APBN 2017
Pemerintahan Jokowi menurunkan kekuatan APBN 2017. Daerah masih punya kesempatan untuk memperkuat diri, meski desentralisasi masih ditarik ulur. Berikut catatan Rhido Jusmadi, dosen FH Universitas Trunojoyo Madura dan peneliti JPIP.
RITUAL tahunan ini jadi gong dimulainya pembangunan. Presiden Joko Widodo menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2017 pada Kamis 7 Desember lalu. Kini, seluruh kementerian dan lembaga (K/L) negara serta daerah punya dasar pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN, sekaligus menjadi dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
Penyerahan DIPA ini lebih cepat seminggu dibanding penyerahan DIPA 2016. Pada zaman SBY, penyerahan DIPA juga berkisar De sember sejak 2011. Sebelumnya DIPA diserahkan awal Januari. Dengan percepatan penyerahan DIPA, begitu gong 1 Januari 2017, dana sudah bisa dicairkan. Untuk pembangunan, tentu.
Postur APBN 2017 sendiri belum perkasa. Itu tecermin dari apa yang disampaikan pemerintahan Jokowi-JK dalam pidato penyampaian keterangan pemerintah atas RUU APBN 2017 beserta nota keuangannya dalam rapat paripurna DPR pada 16 Agustus 2016 lalu. RUU APBN ini kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang APBN 2017.
Secara umum, proyeksi pendapatan negara dipatok Rp 1.750 triliun dan belanja negara sebesar Rp 2.080 triliun. Kondisi tersebut turun apabila dibandingkan dengan APBN 2016, yakni Rp 1.882 triliun untuk pendapatan negara dan Rp 2.095 triliun untuk belanja negara. Ada defisit cukup besar yang dikhawatirkan akan menggemukkan utang negara.
Penurunan proyeksi itu disebabkan turunnya patokan pendapatan negara yang berasal dari pajak, yaitu Rp 1.489 triliun. Sedangkan pada APBN 2016, perolehan pendapatan melalui pajak sebesar Rp 1.546 triliun. Kondisi penurunan tersebut juga berimbas pada turunnya jumlah transfer dana ke daerah. Jika pada APBN 2016 sebesar Rp 723 triliun, untuk APBN 2017, jumlahnya turun menjadi Rp 704 triliun. Ada pelangsingan Rp 19 triliun, angka yang cukup besar untuk daerah.
Penurunan sejumlah pos anggaran, khususnya transfer dana ke daerah, tidak terlepas dari kondisi APBN 2017 yang secara umum masih dalam kondisi pesimistis. Kondisi makro perekonomian negara serta global belum juga bangkit dari kelesuan. Selain itu, efek pelaksanaan tax amnesty dengan target perolehan pendapatan negara yang dipatok Rp 55 triliun belum mampu memberikan stimulus bagi APBN, sehingga program tersebut belum dapat menjadi andalan sepenuhnya dalam mendorong tambahan anggaran negara.
Namun, kondisi penurunan tersebut seharusnya tidak sampai mengorbankan komitmen terhadap penguatan proses desentralisasi dengan mengurangi jumlah transfer dana ke daerah. Ingat, Joko Widodo adalah ”produk” desentralisasi atau otonomi daerah. Namun, kecurigaan akan melemahnya komitmen pemerintah atas penguatan proses desentralisasi di daerah diperkuat dengan masih berimbangnya rasio porsi antara belanja pemerintah (dalam hal ini K/L) dan transfer dana ke daerah (lihat tabel). Bila pem bangunan betul-betul dimulai dari pinggiran Indonesia, ideal nya adalah transfer dana ke daerah dapat lebih tinggi proporsinya dibandingkan dengan belanja pemerintah (K/L).
Selain catatan penurunan, terdapat beberapa hal yang cukup mem berikan optimisme. Ini mengingat adanya kenaikan beberapa pos anggaran yang terkait dengan pos desentralisasi. Pertama, naiknya pengalokasian dana desa. Dalam APBN 2016, jumlah desa penerima mencapai 74.954 dan rata-rata alokasi dana per desa sebesar Rp 800 juta.
Kedua, naiknya dana insentif bagi daerah yang pada APBN 2016 sebesar Rp 5 triliun dan pada APBN 2017 sebesar Rp 7,5 triliun. Dana insentif daerah tersebut dijadikan wujud penghargaan bagi daerah yang berkinerja baik dalam pengelolaan keuangan dan fiskal daerah, pelayanan dasar, serta peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat (termasuk di dalamnya pengendalian tingkat inflasi).
Di sini, inovasi untuk pelayanan publik diharapkan dapat makin mekar. Selama ini inovasi cukup bergairah di seluruh negeri, sekalipun tetap belum merata. Itu tercermin dari makin meningkatnya peserta kompetisi sistem informasi pelayanan publik (Sinovik) dari 1.189 inovasi (2015) melonjak jadi 2.476 inovasi pada tahun berikutnya. Ketiga, meningkatnya jumlah dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp 410 triliun untuk APBN 2017, naik sekitar Rp 24 triliun dibanding APBN 2016 sebesar Rp 386 triliun.
Bagaimanapun juga, keberadaan APBN 2017 serta penjabaran pelaksanaannya yang terdapat pada DIPA 2017 harus dapat men dorong pertumbuhan daerah di balik lesunya kondisi perekonomian nasional maupun global. Sebab, pengeluaran anggaran dari pemerintah saat ini masih menjadi instrumen utama dalam mendorong bergairahnya kembali roda perekonomian di Indonesia. Survei McKinsey pada 2014 kiranya masih relevan bahwa daerah-daerah bisa tumbuh jauh lebih ting gi dibanding Jakarta atau kota besar lain yang telanjur ”gembrot” dan susah tumbuh lebih dari 5 persen. (www.jpipnetwork.id)
Arsip PDF :