Kebon Otonomi
Oleh: Arif Afandi
Sudah lama tidak main di kawasan Kebonsirih. Inilah kawasan elite pemerintahan. Kawasan perkantoran, mulai dari kantor Wakil Presiden sampai dengan kementerian.
Tapi, hari itu bukan untuk agenda pemerintah. Kali ini berkumpul di daerah Kebonsirih untuk kangen-kangenan. Dengan kemasan Buka Bersama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bukber.
Bukber mendadak dan terbatas. Inisiatornya Arif Budiman, mantan Ketua KPU. Dia kemudian mengundang Mas Haryadi, Rohman Budijanto (Stafsus Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), dan Dadan S. Sumawiharja (Komisioner Ombudsman RI).
Mereka ini adalah mantan pendiri dan pengelola Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP). Inilah lembaga yang secara aktif mengambil bagian mengawal otonomi daerah. Desentralisasi pemerintahan yang berlangsung sejak tahun 2001.
JPIP merupakan bagian dari Surat Kabar terbesar kedua di Indonesia, saat itu. Lembaga ini berbadan hukum yayasan. Didirikan founder Jawa Pos Group Dahlan Iskan. Bersama saya dan Haryadi, dosen Fisip Universitas Airlangga.
Tujuannya tunggal. Menjaga agar keputusan politik untuk desentralisasi pemerintahan itu tidak balik kanan. Sebab, Indonesia terlalu besar jika hanya diurus oleh Jakarta. Seperti 32 tahun selama berada dalam pemerintahan Orde Baru.
Caranya dengan mendorong kepala daerah yang memimpin kota dan kabupaten terus berinovasi memajukan daerahnya. JPIP melakukan monitoring ke semua kabupaten dan kota. Mulanya hanya di Jawa Timur. Lalu berkembang ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan provinsi lainnya.
Zaman itu paska reformasi politik. Desentralisasi pemerintahan menjadi spirit baru. Dianggap sebagai salah satu cara cepat untuk mengatasi ketimpangan pusat-daerah. Beberapa kewenangan yang dulu dikuasai pemerintah pusat dilimpahkan ke daerah. Ke kabupaten dan kota.
Ini sejalan dengan strateginya Pak Dahlan. Yang sedang membangun kekuatan koran daerah kala itu. Kalau daerah itu maju, maka koran akan hidup. Demikian juga ketika koran hidup pasti akan bisa menjadi kontrol dan pelecut pemerintah daerah. Koran maju akan mendorong daerah makin maju.
“Ayo kita jadikan otonomi daerah jadi ideologi kita,” katanya. Ia pun menugaskan saya untuk merintis lembaga itu. Lembaga yang menjadi “provokator” bagi kepala daerah agar berinovasi untuk kemajuan kota atau kabupatennya. Tak akan ada kemajuan tanpa inovasi. Ini adagium yang kita yakini.
Saya lantas melibatkan sejumlah ahli untuk merumuskan kategori monitoring. Mereka adalah Dr Pratikno, saat itu dosen Fisip UGM yang kini Mensesneg dan Dr Andi Alfian Malarangeng, salah satu perumus UU Otonomi Daerah yang dikenal sebagai tangan kanan Presiden Susilo Bambang Yudoyono hingga sekarang.
Tentu juga melibatkan para dosen Universitas Airlangga. Selain Haryadi, ikut menjadi tim perumus Drs Priyatmoko MA. Sedangkan tim riset diambil dari para fresh graduate universitas terbesar di Surabaya ini. Dari tim ini lahirlah agenda rutin tahunan untuk memberi penghargaan bagi para kepala daerah yang inovatif di bidang ekonomi, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan layanan administrasi.
Ada banyak kepala daerah yang menonjol sebelum munculnya kepala daerah populer belakangan. Misalnya dulu muncul Bupati Lamongan M Masfuk, Bupati Sidoarjo Win Hindarso, Walikota Surabaya Bambang DH. Di Jawa Tengah, salah satu penerima Otonomi Award adalah Walikota Solo Joko Widodo. Nama terakhir ini sekarang Presiden RI.
Ada dua sisi yang mengiringi perjalanan otonomi daerah. Satu, lahirnya para pemimpin daerah yang hebat dan inovatif. Kedua, munculnya raja-raja kecil baru. Kepala daerah yang lebih mengedepankan kewenangan barunya yang besar ketimbang tanggung jawab mereka. Kecenderungan kedua inilah yang memicu resentralisasi ke pemerintah provinsi.
Ada satu yang tak terlupakan dari awal perjalanan desentralisasi pemerintahan dulu. Apa itu? Kegairahan untuk berkompetisi antar satu kota dengan kota lainnya. Antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Apalagi, desentralisasi tersebut diikuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sukses dalam memimpin menjadi penting untuk keberlanjutan karier politik mereka.
Sayangnya, saat itu, desentralisasi pemerintahan ini tidak diikuti dengan desentralisasi politik. Kepemimpinan partai politik masih sangat sentralistik. Bahkan, tersentral kepada perseorangan Ketua Umum Partai Politiknya. Hal ini membuat aspirasi politik melalui partai menjadi sering kali dengan aspirasi politik di daerah.
Kita masih sering menghadapi problem dalam menyinkronkan satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Tidak hanya dalam sektor politik. Tapi juga di sektor lainnya. Mulai layanan dasar kesehatan, administrasi dan pendidikan. Tidak ada guide line besar ke mana bangsa ini akan di bawa. Kepemimpinan politik yang bersifat figural menjadi semakin lebih mengemuka. Politik lebih seperti politik selera personal. Bukan kepentingan publik.
Mungkin bukan lagi lembaga seperti JPIP yang dibutuhkan sekarang. Tapi lembaga civil society yang kuat untuk mengimbangi laju politik selera yang sedang mengemuka. Lembaga yang menjadi penyeimbang partai politik yang belakangan lebih berwajah oligarkis ketimbang sebagai agregator kepentingan publik.
Tapi siapa yang akan memprakarsai lembaga seperti itu? Tentu banyak aktivis dan tokoh cerdik pandai yang tergugah untuk memulai. Pasti akan ada sosok baru yang akan memimpin gerakan untuk mengalirkan arus keseimbangan baru untuk kebaikan masa depan bangsa ini. Saya percaya dengan Gus Muwafiq: bahwa negeri ini negeri yang diberkahi.
Saya sekadar cukup berbangga pernah membersamai satu generasi yang mempunyai peran penting di negeri ini. Hanya mulai dari spirit menjaga otonomi daerah tapi bisa menghasilkan para pemimpin dan tokoh yang bergairah. Meski ada juga pemimpin produk otonomi yang salah arah.[]