Tak Sentuh Informalitas yang Merajalela
7 mins read

Tak Sentuh Informalitas yang Merajalela

Problem Krusial RUU Pilkada yang Luput dari Perdebatan

Pembahasan RUU Pilkada sudah ditabuh. Sayangnya, diskusi publik baru membahas hal-hal operasional. Sementara itu, persoalan krusial yang selama ini membayangi kurang mendapat perhatian, yakni informalitas. Berikut ulasan WAWAN SOBARI dari JPIP yang sedang riset disertasi doktor pada Flinders University, Australia, soal informalitas politik.

DEBAT yang mengemuka masih itu-itu saja. Di antaranya, mengenai pelaksanaan pilkada serentak, pemilihan gubernur oleh DPRD, dan usul gubernur ditunjuk. Selain itu, muncul pula kritisisme terhadap usul pemerintah untuk memisahkan pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Baru saja Munas NU merekomendasikan pilkada di kabupaten/kota dikembalikan ke DPRD, sementara di tingkat provinsi tetap pilkada langsung.

Perdebatan itu sehat-sehat saja. Namun, banyak kalangan yang justru kurang serius mendiskusikan persoalan penting menyangkut tata kelola pilkada yang baik dan akuntabel. Yakni, terkait usul pelanggaran pilkada dan sanksinya. Padahal, banyak konflik pilkada yang berujung pada situasi chaos di daerah atau perkara sengketa pilkada yang menyita biaya dan tenaga.

Komisi II DPR masih memberikan kesempatan kepada semua kalangan untuk mengirimkan saran dan masukan. Maka, tidak ada salahnya bagi publik memberikan kritik untuk menyempurnakan RUU itu hingga waktu pengesahannya.

Karena demokratisasi di Indonesia bersifat prosedural, cenderung spontan, dan tumbuh tidak dibarengi kemapanan ekonomi dan sosial, pilkada lahir seperti buah yang belum matang. Proses-proses instan para kontestan pilkada lebih sering kita jumpai. Tidak jarang ditemukan perbedaan peraturan pemilu dan kemampuan implementasinya.

Secara sederhana, pelaksanaan pilkada banyak diwarnai fakta-fakta informalitas. Yaitu, berupa aktivitas, aktor, saluran, dan kesepakatan informal yang menyetir proses pembuatan kebijakan di daerah. Informalitas menempuh penggunaan kekuasaan dalam mengendalikan pembuatan kebijakan. Tujuannya, kebijakan berpihak kepada aktor dan kepentingan tertentu secara ekslusif.

Bahaya informalitas muncul saat kepentingan individual lebih diakomodasi daripada aspirasi publik. Informalitas bisa merusak tatanan kepercayaan politik. Terutama, saat para aktor pemerintah dan nonpemerintah berkolaborasi memperjuangkan kepentingan sempit demi memperoleh keuntungan individu atau kelompok. Maka, keluaran dan dampak kebijakan yang semestinya dinikmati sebagai barang publik pada kenyataannya hanya bisa diakses dan dinikmati kalangan terbatas.

Hal itulah yang justru kurang diantisipasi dalam rencana pengaturan pilkada yang tengah dibahas. Beberapa titik lemah tampak dalam pengaturan kampanye, pelanggaran pidana, dan sanksinya.

Dalam mengatur kampanye, RUU itu sulit keluar dari perspektif formal mengenai kampanye sebagai salah satu tahapan resmi pilkada. Rancangan pasal 86 tentang pelaksanaan kampanye secara eksplisit mendefinisikan kampanye dengan sangat terbatas oleh tim kampanye pasangan calon.

Fakta di lapangan menunjukkan, selama ini kolega calon di luar tim kampanye ikut terlibat mempromosikan calon. Mereka melakukannya dengan target dan tujuan tertentu yang bisa dikalkulasikan bersama calon bila menang dalam pilkada. Maka, kita sering melihat alat peraga promosi bakal calon sudah beredar di ruang-ruang publik jauh-jauh hari sebelum pilkada. Inisiatif upaya tersebut belum tentu berasal dari dan dilakukan tim bakal calon.

Sementara itu, rancangan pasal mengenai larangan dalam kampanye terkait penggunaan anggaran dan fasilitas pemerintah hanya menguntungkan incumbent. Meski rencana penundaan dan pelaksanaan pilkada serentak sangat mungkin dilaksanakan. Namun, sejak jauh-jauh hari sebelum pilkada, incumbent atau keluarganya bisa ikut memboncengi program-program daerah, provinsi, dan nasional untuk mendongkrak tingkat popularitas dan penerimaan masyarakat.

Alhasil, tidak jarang ditemui dalam kurun dua tahun menjelang habisnya masa jabatan, para incumbent atau keluarganya mengarahkan program-program daerah supaya sesuai dengan target pilkada. Apalagi kalau ada keinginan meneruskan jabatan kepada kerabat atau suami atau istri.

Pun, larangan pelibatan pejabat daerah, PNS, kepala desa, dan perangkat desa sulit dihindari. Fakta selama ini, transaksi kebijakan di antara incumbent dan birokrasi, termasuk kepala desa dan perangkatnya, sulit dideteksi penyelenggara atau pengawas pilkada. Apalagi bila praktik transaksi dilakukan sebelum masa kampanye atau ”curi start”.

Nasib pengaturan dana kampanye setali tiga uang. RUU Pilkada tidak mampu mengatur sumbangan yang tidak dilaporkan. Bisa saja seorang pengusaha membagikan atau memasang atribut pengenalan bakal calon atas inisiatif sendiri. Konsekuensinya, dana yang dikeluarkan untuk hal tersebut sulit terjangkau auditor. Padahal, sang kepala daerah terpilih bisa saja terjerat utang besar dan mengganggu akuntabilitas pemerintahan.

Menyangkut pelanggaran pidana, kelemahan RUU Pilkada, antara lain, terletak pada penye butan politik uang. Bila yang dimaksud politik uang terbatas pada pemberian uang tunai kepada calon pemilih untuk memengaruhi pilihannya, pasal itu akan mudah dikelabui. Sebaiknya, penyebutan politik uang diganti dengan istilah yang lebih luas ”atau materi lainnya” sebagaimana disebutkan dalam rancangan pasal 97.

Maka, para pemutus RUU Pilkada perlu lebih dalam lagi mengkaji berbagai potensi dan praktik informalitas yang mungkin muncul menyertai pilkada. Terutama menyangkut incumbent atau keluarganya. Bila RUU terbatas mengatur pilkada, UU atau peraturan lainnya mesti mengantisipasi informalitas. (wawan sobari)

Penasaran Daerah Dampingan

JELANG Otonomi Awards (OA) 2012, Sabtu 6 Oktober, yang tinggal empat hari, kesibukan di kantor JPIP makin kencang. Banyak daerah yang mulai mengambil undangan. Bahkan, Sabtu dan Minggu pun tetap ramai. Telepon JPIP di nomor 031-8202038 dan 8202081 terus berdering. “Semula kru JPIP mengagendakan Sabtu dan Minggu hanya dipakai lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak berinteraksi dengan pihak lain, termasuk pemda dan peminat seminar dan malam OA,” kata Rohman Budijanto, direktur eksekutif JPIP.

Daerah yang sudah mengambil pesanan undangan, antara lain, Kabupaten Bojonegoro dan Gresik. Utusan Pemkab Bojonegoro datang ke Surabaya supaya menjadi yang paling awal mendapat undangan. Tapi, ternyata Gresik datang lebih dulu. Bahkan, sebelum ke kantor JPIP, utusan Pemkab Bojonegoro tersebut sudah mem-booking hotel. Katanya, takut kehabisan hotel yang dekat dengan tempat acara OA.

Utusan Pemkab Bojonegoro menyesal karena tidak memesan kamar di Hotel Bekizaar yang direkomendasikan JPIP. Sebab, harga kamar Hotel Bekizaar di Tunjungan milik BUMD Wira Jatim ini sedang promosi.

Selain kesibukan soal undangan, akhir pekan kemarin kantor JPIP juga kedatangan tamu utusan lembaga donor. Dia adalah Dina Limanto, koordinator Kinerja-USAID untuk Jawa Timur. Kinerja-USAID turut mendukung acara OA 2012. Petinggi USAID yang direncanakan datang adalah Miles F. Toder (Director Office of Democratic Governance) dan Lutfi Ashari (Project Development Specialist). Sementara dari Kinerja yaitu Elke Rapp (Chief of Party) dan Imam Prakoso (Accountability & Media Specialist).

Kinerja-USAID penasaran apakah prestasi daerah dampingannya meraih OA atau tidak. Di Jawa Timur, dampingannya adalah Kabupaten Probolinggo, Tulungagung, Jember, Bondowoso, dan Kota Probolinggo. Memang, tidak ada jaminan daerah tersebut meraih OA. Yang pasti, apa pun hasil penilaian OA 2012, menurut Dina Limanto, akan menjadi bagian referensi dan masukan program Kinerja.

Awas Kecele
Yang jelas, jangan sampai kepala daerah tidak datang di seminar dan malam OA. Kesempatan menang masih terbukasampai menjelang malam OA mulai. Dimaklumi kalau banyak yang waswas tak akan menang. Pernah ada kepala daerah yang pesimistis, karena peneliti yang turun ke daerahnya kelihatan kereng dan sangat kritis kalau bertanya. Disangka ada sentimen negatif.

Eh, setelah diumumkan, ternyata menang award. Padahal, si kepala daerah telanjur tak datang. Kecele, deh,” kata Dadan Suharmawijaya, wakil direktur JPIP. Dia menjamin peneliti JPIP tidak memasukkan aspek pribadi dalam penilaian. Apalagi, ada kontrol lewat rapat pleno bersama selusin peneliti. Setiap skor penilaian harus ada argumennya dan dibandingkan dengan daerah lain. Jadi lebih baik tetap optimistis. (taufik akbar)

Arsip PDF :