Eselon Auditor Cenderung Lebih Rendah
7 mins read

Eselon Auditor Cenderung Lebih Rendah

Dilema Penguatan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah

Proses reformasi birokrasi terus menunjukkan indikasi kemajuan. Meskipun, cukup banyak persoalan yang menghadang di lapangan. Salah satunya, sistem pengawasan internal pemerintah. Seperti apa capaian dan tantangannya? Berikut catatan Nur Hidayat dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

HINGGA saat ini, sistem pengawasan internal pemerintah (SPIP) masih diwarnai cukup banyak kontradiksi. Tidak hanya pada tataran konsep dan praktik, tetapi juga pada tataran regulasi. Yang paling dasar adalah keberadaan unit aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP) yang sepenuhnya berada di bawah pimpinan kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah (pemda).

Saat yang sama, auditor merupakan pegawai kementerian, lembaga, atau pemda yang ruang lingkup pengawasannya juga dibatasi oleh pimpinan masing-masing. ’’Masalah ini yang berusaha dipecahkan dalam rancangan undang-undang (RUU) SPIP,’’ ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN RB) Azwar Abubakar saat menjadi pembicara dalam forum Akuntabilitas Seri Ke-10 di Banda Aceh Selasa (25/3).

Pria kelahiran Banda Aceh itu mengungkapkan, unit APIP nanti berada di bawah Inspektorat Nasional yang bertanggung jawab kepada presiden. Dalam desain RUU SPIP, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan ditransformasi menjadi Inspektorat Nasional.

Selain Azwar, forum yang mengambil tema Nangroe Akuntabel, Rakyat Percaya itu dihadiri Kepala BPKP Mardiasmo, anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil, anggota DPD Mursyid, serta Asisten Administrasi dan Umum Sekretariat Daerah Aceh Muzakkar.

Kepala BPKP Mardiasmo mengungkapkan bahwa problem kelembagaan APIP memang membuat fungsi pengawasan internal tidak efektif. Seharusnya, menurut dia, eselon inspektur minimal harus sama dengan eselon pejabat yang diperiksa. ’’Yang terjadi di daerah, misalnya, eselon inspektur kalah dengan sekretaris daerah (Sekda). Padahal, Sekda adalah kuasa pengguna anggaran (KPA). Kondisi serupa juga terjadi di kementerian dan lembaga,’’ ujarnya.

Guru besar Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu menambahkan, pemberantasan korupsi merupakan langkah terpenting dalam meningkatkan akuntabilitas tata kelola pemerintahan. Setelah korupsi habis, baru masuk pada aspek pelaporan keuangan, dan dilanjutkan kepada penguatan aspek audit kinerja. ’’Apa gunanya opini wajar tanpa pengecualian (WTP) jika masih banyak korupsi?’’ katanya.

Saat ini auditor APIP –termasuk BPKP di dalamnya– belum mampu mengendus kejahatan kerah putih (white collar crime) yang semakin canggih. Proses audit hanya terbatas pada ketaatan kegiatan, belum bisa melangkah pada ruang lingkup yang lebih luas. ’’Ibarat dokter umum yang belum punya pengalaman, pasti tidak bisa menemukan penyakit dan pengobatan yang pas,’’ tandasnya.

Karena itu, pria kelahiran Solo itu mengharapkan adanya kebijakan untuk penguatan keberadaan APIP. Pengawasan yang andal penting untuk menjembatani kesenjangan antara harapan dan kebutuhan stakeholders dengan kinerja instansi pemerintah. ’’Kalau bisa, BPKP juga blusukan ke pemda, badan usaha milik daerah (BUMD), dan instansi vertikal di daerah. Blusukan-nya APIP itu dapat dimanfaatkan untuk memberikan joint review, fraud control plan, dan sebagainya,’’ tuturnya.

Dalam kesempatan tersebut, Mardiasmo juga mengkritik kementerian yang kewenangannya telah dilimpahkan kepada daerah, tetapi masih memiliki anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kalau hal itu dapat diminimalkan, tentu akan banyak penghematan anggaran negara yang bisa dilakukan. ’’Dengan kondisi hari ini saja, hasil pengawasan BPKP sejak 2009 telah menghemat Rp 62 triliun keuangan negara,’’ ujarnya.

Di sisi lain, dia juga menyayangkan sikap masyarakat yang masih cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Berdasar hasil survei Tim Quality Assurance (TQA), sikap antikorupsi di masyarakat ternyata masih sebatas sikap, belum sampai kepada tindakan. Dalam pelayanan publik, masyarakat malah menjadi bagian dari praktik korupsi melalui pemberian uang lebih, tip, dan semacamnya.

Sementara itu, Muhammad Nasir Djamil menyoroti pentingnya transformasi kultural di tengah masyarakat. Di era reformasi, telah banyak lembaga pengawas yang dibentuk. Ada Ombudsman yang berfokus kepada pengawasan pelayanan publik, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi lembaga penyiaran, juga Komisi Yudisial untuk mengawasi lembaga peradilan. ’’Persoalannya, kultur dan mindset yang belum berubah,’’ ujar pria kelahiran Medan itu.

Untuk mendorong pengawasan yang semakin efektif, pemanfaatan media sosial bisa menjadi salah satu alternatif. Media atau pers selama ini sebenarnya diharapkan bisa menjadi salah satu instrumen pengawasan. Sebagai watchdog, menurut Nasir, media seharusnya ’’menggonggong’’ ketika mengendus sesuatu yang tidak beres. ’’Masalahnya, sebagaimana anjing penjaga rumah, kalau kemudian dibius, tentu pencurinya bisa merajalela,’’ ujarnya memberikan tamsil.

Pertanyaannya, mengapa korupsi masih ada meski banyak komisi sudah dibentuk? Salah satu sebabnya, etika publik belum terintergrasi ke dalam pelayanan publik. Itulah yang perlu dirumuskan secara bersama-sama. ’’Kemen PAN-RB saya lihat sudah punya konsep untuk mengintegrasikan etika publik ke dalam pelayanan publik ini,’’ tandasnya.

Hadirnya UU Aparatur Sipil Negara diharapkan mampu memperbaiki pengelolaan sumber daya manusia aparatur birokrasi. Sedangkan integrasi etika ke dalam pelayanan publik diperlukan untuk mendorong struktur yang sudah dibangun dapat melayani publik dengan baik. ’’Pekerjaan rumah kita hari ini ialah mengubah kultur sehingga struktur di bawah bisa bekerja secara optimal untuk melayani publik,’’ tegasnya. (day/www.jpipnetwork.id)

Semua Jabatan Dianggap Dagang

APA yang membuat perbaikan pelayanan publik cenderung berjalan lambat? Banyak teori dan hasil survei yang bisa dikutip untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi, Mursyid, anggota DPD RI asal Aceh, punya pendapat berbeda.

’’Semua posisi atau jabatan adalah dagang. Prinsip inilah yang membuat negeri kita rusak,” ujar Mursyid, salah seorang senator dari Aceh.

Mursyid

Menurut pria berdarah Gayo itu, Aceh dikenal sebagai negeri syariat. Sayangnya, persepsi tersebut jauh dari kenyataan di lapangan. Dia pun memberi ilustrasi tentang respons aparatur negara terhadap keberadaan warga miskin yang jauh dari ajaran Alquran sebagaimana terkandung dalam surah Al Ma’un.

’’Warga yang benar-benar miskin sering kali tidak mampu berbicara atau mengungkapkan perasaan mereka kepada pejabat. Jangankan berbicara kepada kepala desa atau camat, menyampaikan perasaaan kepada kepala dusun pun mereka mungkin tidak mampu,” ujarnya.

Akibat kondisi tersebut, orang-orang yang memiliki akses komunikasi kepada para pejabat malah dimasukkan ke dalam data penduduk miskin. Alhasil, warga miskin yang sebenarnya tetap terabaikan dan tidak terlayani oleh negara. Ironisnya, ketika ada warga miskin yang mencuri sekadar untuk bertahan hidup, dia justru menjadi bulan-bulanan sebagian masyarakat dan aparat penegak hukum.

Dalam banyak kasus, warga miskin tersebut justru dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Di tangan polisi, dia diproses secara pidana. Padahal, jika merujuk pada filosofi surah Al Ma’un, seharusnya polisi yang memeriksa itu memberinya uang untuk makan dan mencukupi kebutuhan hidup.

Sayangnya, yang sering kali terjadi justru proses berlanjut hingga ke meja hijau. Di tangan hakim dan jaksa yang berpegang pada prinsip ’’setiap posisi dan jabatan adalah dagang”, nasib warga miskin semakin terpuruk. Bukannya disantuni, mereka malah semakin menjadi objek eksploitasi.

Dalam skala yang lebih luas, Mursyid melihat bahwa tingginya biaya politik merupakan persoalan yang sangat serius. Pasalnya, untuk menjadi pejabat publik sekelas bupati atau gubernur, banyak sekali dana yang harus dihabiskan. Politisasi birokrasi di daerah juga telah membuat banyak orang baik tersingkir dari jabatannya.

Demikian juga halnya dengan jabatan legislatif. Praktik jual beli suara oleh calon anggota legislatif yang kian marak belakangan ini membuatnya prihatin. Karena itu, dia meminta kalangan pers untuk berkampanye agar masyarakat tidak terpengaruh praktik politik uang dalam Pemilu 2014. ’’Ambil uangnya, tapi jangan pilih orangnya. Insya Allah akan terpilih orang-orang baik yang membantu dan meringankan kerja Men PAN dan BPKP,” seru Mursyid. (day/www.jpipnetwork.id)

Arsip PDF :