Ditantang Paradoks Koalisi
Mencermati Janji Akuntabilitas Capres-Cawapres
Para calon presiden-wakil presiden menebar optimisme dengan menjanjikan lahirnya pemerintahan baru yang lebih akuntabel. Namun, harapan ini bakal berhadapan dengan ambivalensi watak dasar pemerintahan hasil koalisi. Berikut ulasan Wawan Sobari, peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah menetapkan pasangan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) sebagai pasangan calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 Sabtu (31/5) lalu. Penetapan tersebut mencatatkan kompetisi antardua pasangan (bipolar race) pertama dalam sejarah pilpres langsung di Indonesia.
Sejak ditetapkan akhir pekan lalu, visi, misi, dan program dua pasangan calon sudah bisa diakses publik di laman KPU. Masing-masing telah menuangkan program-program khusus terkait dengan upaya mewujudkan akuntabilitas pemerintahan nasional yang akan mereka pimpin sejak 20 Oktober 2014.
Bagi masyarakat pemilih, menelaah program akuntabilitas pemerintahan dua calon ini sangatlah penting. Sebab, janji-janji itulah yang akan dikonversi ke dalam implementasi akuntabilitas kepemimpinan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Secara umum, hasil analisis terhadap program yang terkait dengan akuntabilitas pemerintahan menunjukkan bahwa dua pasangan calon telah belajar dari praktik-praktik akuntabilitas yang telah berlangsung sejak era reformasi.
Agenda VIII pasangan Prabowo-Hatta, misalnya, secara tegas menjanjikan bangunan pemerintahan yang bebas dari tindak korupsi dan efektif dalam melayani publik. Secara operasional, agenda akuntabilitas pasangan ini akan dicapai melalui percepatan perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan mendorong sistem birokrasi efisien serta menerapkan manajemen pemerintahan terbuka untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN. Juga, memangkas rantai dan proses birokrasi yang berbelit. Secara institusional, pasangan Prabowo-Hatta akan memperkuat peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyinergikan dengan Kejaksaan dan Kepolisian RI dalam pemberantasan korupsi.
Agenda prioritas akuntabilitas pemerintahan pasangan Jokowi-JK tercermin dari tekad membangun tata kelola pemerintahan yang transparan dan menjalankan reformasi birokrasi (restrukturisasi organisasi, perbaikan pelayanan, kompetensi aparat, supervisi pelayanan). Guna mendorong partisipasi dalam pelayanan, pasangan ini berjanji menuangkannya dalam undang-undang kontrak pelayanan (citizen charter).
Selain itu, Jokowi-JK menjanjikan transparansi rencana, proses, dan alasan pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Dalam pemberantasan korupsi, Jokowi-JK, antara lain, berjanji mendukung KPK serta sinerginya dengan Polri dan kejaksaan, membentuk rancangan undang-undang (RUU) perampasan aset dan RUU pembatasan transaksi tunai. Prioritas penanganan korupsi difokuskan pada sektor hukum, politik, pajak, bea cukai, dan industri sumber daya alam.
Janji akuntabilitas pemerintahan tersebut cukup memberikan harapan tentang watak pemerintahan yang akan dipimpin lima tahun nanti. Namun, program-program tersebut sejatinya mesti berhadapan dengan sejumlah fakta politik yang kontradiktif. Faktanya, pilpres langsung dalam sistem multipartai terbukti menghasilkan pemerintahan koalisi yang berisiko mempersulit akuntabilitas pemerintahan.
Dua pasangan calon didukung oleh masing-masing lima dan enam parpol yang sangat mungkin memiliki motif koalisi berbeda. Tujuan koalisi yang paling berlawanan dengan semangat mendorong akuntabilitas pemerintahan terutama adalah mencari jabatan (office-seeking).
Hasil studi perilaku parpol di banyak negara menunjukkan, niat bergabung dalam koalisi terutama adalah parpol bisa me ngontrol institusi yang dijabatnya. Penunjukan posisi dalam kabinet bernilai strategis bagi terjadinya tindakan diskresi jabatan dan kebijakan. Manfaat jabatan bisa diarahkan agar menguntungkan individu dan golongan/parpol (Strom,1990).
Dua periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) memberi kita pe ngalaman dan pelajaran yang sangat berharga. Pasalnya, jumlah menteri berlatar belakang parpol justru meningkat. Dalam KIB I, sedikitnya terdapat 16 menteri dari tujuh parpol. Saat KIB II pertama terbentuk, jumlah menteri dari parpol sedikitnya bertambah tujuh posisi. Padahal, saat itu, anggota koalisi justru berkurang satu parpol.
Dalam konteks Indonesia, beban koalisi masih ditambah oleh keterlibatan tokoh-tokoh nonpartisan. Keikutsertaan mereka dalam mendukung pemenangan para capres tentu tidak steril kepentingan. Kompensasi jabatan atau konsesi kebijakan akan menjadi tantangan perwujudan janji akuntabilitas pemerintahan berikutnya.
Parpol yang bekerja secara berjejaring mulai tingkat nasional hingga daerah berkonsekuensi menimbulkan kultur berpatron yang didominasi keterikatan pada aturan atau norma informal. Sumber daya negara berpotensi mengalami distorsi pemanfaatan bagi para pendukung parpol. Padahal, setiap rupiah dari anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/D) sejatinya adalah barang publik yang semestinya dimanfaatkan seluruh publik dengan setara.
Catatan kritis terhadap program akuntabilitas pemerintahan dua pasangan capres-cawapres adalah kurangnya penekanan terhadap optimalisasi beberapa lembaga pengawal dan penjaga akuntabilitas pemerintahan. Misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Komisi Yudisial, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Komisi Informasi, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Institusi-institusi pelat merah tersebut telah memiliki pengalaman memadai dalam mendorong akuntabilitas keuangan negara dan daerah, akuntabilitas pembangunan, peradilan, pelayanan publik dan mendorong keterbukaan informasi. Karena itu, mereka pun layak mendapat prioritas agar dapat berfungsi optimal.
Bagi publik, mengukur akuntabilitas pemerintahan capres bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, seberapa akan tetap amanah pemerintahan terpilih dalam memprioritaskan kepentingan publik daripada sejawat koalisi. Kedua, pemerintah terpilih sepakat memformalkan janji-janji akuntabilitas dalam regulasi tertentu untuk mencegah pemerintahan absolut atau memerintah di luar semestinya. (wawansobari)
Beradu Resep Reformasi Birokrasi
TAK ada yang baru dalam program reformasi birokrasi para capres-cawapres. Program Prabowo-Hatta dalam mempercepat peningkatan kesejahteraan dan perwujudan sistem birokrasi yang efisien dan melayani telah masuk dalam agenda pemerintahan sekarang. Bahkan, kebijakan remunerasi untuk perbaikan penghasilan PNS di sejumlah kementerian dan lembaga negara juga sudah dilakukan.
Begitu pula janji Jokowi-JK terkait restrukturisasi kelembagaan birokrasi, perbaikan kualitas pelayanan publik, peningkatan kompetensi aparatur, serta penguatan monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik, juga sudah dijalankan. Misalnya, sejumlah inisiatif supervisi dan monitoring telah dilakukan melalui penanganan komplain secara elektronik (e-complaint) di beberapa daerah. Keterbukaan dalam pengadaan barang dan jasa (e-procurement) justru dimotori Kota Surabaya.
Sedangkan terobosan kontrak pelayanan publik (citizen charter) telah dilaksanakan Kota Blitar, Kota Jogjakarta, dan Kabupaten Semarang sejak periode awal otonomi daerah. Kini praktik tersebut telah banyak diadopsi berbagai daerah lain.
Pemerintahan SBY-Boediono sebenarnya sudah menetapkan grand design reformasi birokrasi 2010–2025 dan road map reformasi birokrasi 2010–2014. Secara teknis, sudah ditetapkan dan mulai diimplementasikan sembilan program percepatan reformasi birokrasi. Antara lain penataan struktur birokrasi, penataan jumlah dan distribusi PNS, sistem seleksi CPNS dan promosi PNS secara terbuka, profesionalisasi PNS, serta pengembangan sistem elektronik pemerintah (e-government). Juga penyederhanaan izin usaha; peningkatan transparansi dan akuntabilitas aparatur; peningkatan kesejahteraan PNS; serta efisiensi penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana kerja PNS.
Berangkat dari sembilan prioritas tersebut, pemerintah telah menetapkan sejumlah target yang harus dicapai pada 2014. Misalnya meningkatnya indeks persepsi korupsi mencapai skor 5, tercapainya 100 persen opini audit berpredikat wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk lembaga dan kementerian, meningkatnya ranking kemudahan berusaha Indonesia hingga menembus peringkat ke-75, dan meningkatnya indeks efektivitas pemerintahan hingga mencapai poin 0,5.
Pengundang-undangan UU Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 15 Januari 2014 memperkuat landasan hukum reformasi birokrasi. Prinsip-prinsip dasar UU ASN seperti seleksi dan promosi secara adil dan kompetitif, penggajian, reward and punishment berbasis kinerja, hingga upaya melindungi pegawai dari intervensi politik dan tindakan semena-mena setidaknya menjadi landasan yang kuat bagi arah reformasi birokrasi.
Yang perlu dilakukan pemerintahan berikutnya adalah memastikan reformasi birokrasi tidak berhenti pada upaya quick win alias perbaikan citra untuk meraih kepercayaan publik. Lebih dari itu, pemerintah mendatang mesti menjamin dan memastikan reformasi birokrasi dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh publik. Juga menyelesaikan dua RUU terkait reformasi birokrasi yang masih tersisa, yaitu RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah dan RUU Administrasi Pemerintahan. (wawan/jpip)
Arsip PDF :