Mengontrol Bukan Eksploitasi Kesalahan
Kebebasan Pers dan Reformasi Birokrasi dalam Simposium JPIP-USAID
Kebebasan pers tidak boleh digunakan untuk mengeksploitasi kesalahan pihak lain. Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta masyarakat tidak gentar mengoreksi penyimpangan pers. Dia pernah meminta polisi menangkap wartawan yang menyimpang.
GERAK-gerik birokrasi secara natural merupakan objek pemberitaan yang seksi. Bagi Ketua Dewan Pers Prof Dr Bagir Manan SH, sesuai dengan fungsinya sebagai pengontrol, media memang selayaknya kritis terhadap ketidakwajaran yang terjadi di birokrasi. Namun, hak kontrol tidak boleh disimpangkan. Apalagi bertujuan memperoleh materi tertentu.
’’Mengeksploitasi kesalahan orang lain bertentangan dengan kode etik dan profesionalisme. Itu dosa besar,’’ kata ketua Mahkamah Agung (MA) 2001–2008 itu dalam simposium nasional bertema Sinergi Komunikasi untuk Reformasi Birokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan yang digelar JPIP-USAID di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (9/9). Selain Bagir, pembicara di acara tersebut adalah Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan Sekretaris Utama BPKP Dr Meidyah Indreswari SE Ak MSc. Simposium dihadiri sekitar 300 peserta dari kalangan humas pemerintah, wartawan, serta aktivis.
Selain simposium dan pameran, ada penganugerahan Journalist Awards 2014 kepada media, wartawan, penulis opini, kartunis, dan fotografer yang dinilai menghasilkan karya luar biasa dalam mendorong pemerintah lebih akuntabel. Acara tersebut akan berlangsung hingga hari ini dan merupakan puncak dua tahun program Akuntabilitas USAID-JPIP.
Bagir mengatakan, dirinya punya pengalaman menjadi birokrat, guru (dosen), serta hakim. Sosok 74 tahun tersebut merasa pekerjaan birokrat itu begitu besar, sebagai pelaksana fungsi sosial pemerintah. Dalam menjalan kan pekerjaan, birokrat mungkin melakukan kesalahan. ’’Namun, kelemahan ini jangan dieksploitasi. Fungsi kontrol media itu memperbaiki keadaan,’’ tandas guru besar Universitas Padjadjaran itu.
Dewan Pers aktif memberikan literasi media hingga daerah-daerah agar orang di daerah memahami kerja media dengan tepat. Bagir menceritakan, pertemuan tersebut dilakukan dengan orang-orang nonmedia, misalnya bupati, wali kota, camat, kepala sekolah, dan pihak lain. Dia mengungkapkan, kadang-kadang ada keluhan dari mereka karena dikejar-kejar pers yang terkesan mencari-cari kesalahan. Sampai-sampai mengukur tiang sekolah yang mestinya dibuat selebar 10 cm ternyata dianggap hanya 9,5 cm. ’’Ada kepala sekolah sampai pindah kantor karena terus-menerus ditanya soal dana BOS (bantuan operasional sekolah),’’ katanya.
Bagir Manan melarang aparat pemerintah daerah melayani wartawan tanpa identitas. Bagir meminta aparat pemerintah daerah tidak gentar dengan intimidasi wartawan yang mengancam akan membuka borok. ’’Tidak perlu takut, wartawan yang mengotori profesi seperti ini justru harus dilawan,’’ kata tokoh kelahiran 6 Oktober 1941 itu.
Bagir menceritakan, dirinya pernah meminta polisi di Lampung menangkap ’’wartawan’’ yang memeras. Menurut Bagir, mereka tidak ubahnya preman. ’’Mungkin karena yang meminta menangkap sesama orang Lampung, penangkapan cepat dilaksanakan,’’ ujar Bagir beseloroh.
Selain itu, penerbitan media baru terkadang didasari oleh modus-modus tertentu. Misalnya, digunakan oleh pemilik modal untuk menyerang pejabat tertentu dengan tujuan diberi iklan. Kondisi tersebut diperparah oleh perekrutan wartawan yang ala kadarnya. ’’Makanya sering saya bilang, profesi yang tidak pakai syarat macam-macam itu hanya wartawan. Syaratnya hanya satu; tidak buta huruf,’’ ujar Bagir.
Karena itulah, Dewan Pers dan organisasi wartawan kini menggalakkan uji kompetensi wartawan. Bagir mengisahkan, upaya tersebut disambut baik juga oleh birokrat. Gubernur Bali Made Mangku Pastika, misalnya, punya keinginan agar media semakin baik. Menurut catatan, sang gubernur memang pernah bersengketa dengan pers.
Menjawab pertanyaan tentang gaji sebagian wartawan yang belum standar, bahkan masih di bawah UMR, Bagir menyatakan bahwa Dewan Pers sudah menyurati perusahaan media agar menggaji wartawan dengan layak, setidaknya di atas UMR. Namun, Bagir mengingatkan, gaji rendah tidak boleh menjadi alasan melakukan penyimpangan profesi. Tidak ada orang yang menyuruh tetap bertahan di profesi wartawan kalau bergaji kecil. Seperti halnya dengan profesi hakim, polisi, dan jaksa, tidak boleh menyimpang dengan alasan gaji kurang.
Ketua KY Dr Suparman Marzuki SH MSi menilai, di era demokratis tidak mungkin lembaga apa pun tidak menjalankan fungsi akuntabilitas. Karena itu, bukan zamannya lagi aktivitas lembaga negara tidak bisa diakses media. ’’Media merupakan instrumen paling penting untuk menyampaikan apa pun aktivitas dan kewenangan institusi negara,’’ kata Suparman.
Sejak awal Suparman menyadari penting dan strategisnya media. Namun, ada kalanya hal-hal positif yang dilakukan lembaganya luput dari pemberitaan. Dampaknya, hubungan KY dengan lembaga peradilan sering terkesan kurang baik di mata publik. ’’Padahal, komunikasi kami dengan MA dan institusi pengadilan tidak seperti yang dikesankan orang luar,’’ kata tokoh berlatar dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu.
Contoh berita positif yang jarang diberitakan wartawan, kata dia, misalnya kewenangan mengawasi hakim dan menyeleksi hakim agung yang kini dipegang KY. Kegiatan membangun kapasitas hakim, mengirim hakim untuk belajar ke luar negeri yang telah berjalan belakangan ini tidak cukup terpublikasi. ’’Kami sadar, berita-berita seperti itu kurang menarik diberitakan. Yang menarik itu bila kami membawa hakim selingkuh ke majelis kehormatan,’’ kata Suparman.
Sedangkan Meidyah Indreswari dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menegaskan, BPKP terbuka terhadap semua informasi, namun tidak termasuk informasi yang oleh undang-undang boleh dikecualikan. (Nur Hidayat/www.jpipnetwork.id)
Arsip PDF :