Bagi Tugas Amankan Ibu Hamil
Kabupaten Sidoarjo, Pemenang Otonomi Award Kategori Penanggulangan Kematian Ibu dan Bayi
Rapor kesehatan muram kalau angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Sidoarjo merawat ibu hamil dengan gotong royong agar tidak ada yang ketiban apes. Inilah laporan Rhido Jusmadi dari JPIP.
SENGIT nian perdebatan dalam rapat pleno peneliti JPIP ketika me nentukan pemenang untuk kategori daerah dengan terobosan inovatif dalam menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi (AKI-AKB). Hampir semua daerah antusias menjalankan program yang masuk millennium development goals (MDG’s) itu. Cukup menyentuh hati.
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah akhirnya diputuskan berhak naik panggung Otonomi Awards (OA) di Empire Palace, Surabaya (26/11). Kabupaten yang dipimpinnya dinilai paling konkret dalam bersinergi memerangi AKI-AKB. Empat daerah yang masuk nominasi berada di peringkat ke-2–ke-5 (lihat grafis). Tahun lalu, kabupaten tetangga di selatan Surabaya tersebut juga meraih OA melalui program perizinan terpadu.
AKI-AKB memang menjadi masalah di depan mata. Kepala Dinas Kesehatan dr Ika Harnasti menyebutkan, kasus yang dominan di kabupatennya adalah pendarahan. Selain itu, preklamsi atau keracunan saat melahirkan serta bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). ”Yang menyedihkan, rata-rata ibu yang mengalami masalah tersebut masih kategori usia produktif, bukan tua atau terlalu muda,” kata alumnus FK Unair tersebut.
Setelah ditelaah, masalah itu merupakan efek tingginya urbanisasi ke Sidoarjo. Akibatnya, dinamika penduduk dan kesehatan mereka sulit dipantau. Selain itu, faktor kemiskinan dan kekurangpedulian terhadap kesehatan karena sibuk bekerja menambah risiko kehamilan.
Dinkes memerangi AKI-AKB dengan menggandeng para bidan, kader kesehatan, petugas medis, serta dokter di puskesmas hingga RSUD Sidoarjo. Kekuatan itu disinergikan sehingga ada pembagian beban tugas yang proporsional. Itulah yang membuat Sidoarjo berbeda.
”Selama ini, RSUD sering ’ketiban apes’ harus menangani proses persalinan gawat darurat yang sudah parah hasil rujukan bidan atau puskesmas,” kata dr Atok Irawan SpP, direktur RSUD Sidoarjo. Di sisi lain, RSUD sering menerima kasus ringan yang semestinya bisa ditangani di puskesmas terdekat.
Beban kerja RSUD Sidoarjo memang sudah tinggi. Menurut Kadinkes dr Ika Harnasti, rumah sakit itu menjadi rujukan utama selain RSUD dr Soetomo (Surabaya) dan RSUD Syaiful Anwar (Malang). Agar penanganan lebih efektif, persoalan-persoalan AKI-AKB mulai diantisipasi dengan teknologi komunikasi.
Dinkes sudah mengembangkan program SMS Gateway, yaitu sistem pelayanan kegawatdaruratan maternal dan kandungan berbasis informasi dengan menggunakan media short message service (SMS). Bidan, petugas puskesmas, hingga pengelola RSUD memiliki nomor yang saling terintegrasi. Server SMS itu ditempatkan di RSUD di kota dan RS Khodijah (Sepanjang) serta RS Anwar Medika (Krian).
Sistem tersebut menghubungkan seluruh bidan di desa dan petugas kesehatan di puskesmas untuk saling terkoneksi. Ketika ada pasien ibu ha mil yang gawat dan harus dirujuk ke RS, info bisa diberikan lewat SMS. Isinya, nama pasien, nama suami, usia kehamilan, alamat, sampai indi kasi rujukan.
Yang tidak kalah penting, pertanyaan-pertanyaan terkait dengan adanya ruangan yang kosong dan ruangan untuk stabilisasi juga harus diberikan. ”Kalau RSUD bisa menerima, ya silakan di RSUD. Tapi, kalau menolak, bisa ditulis RSUD penuh, silakan dirujuk ke RS swasta yang juga terkoneksi dengan SMS Gateway tersebut,” tutur dr Ika Harnasti.
Selain itu, dinkes membuat program pelatihan kelas ibu hamil. Sasarannya bukan saja sang ibu, tapi juga suami dan anggota keluarga terdekat yang hidup serumah. Ada pula pelatihan keterampilan penanganan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) serta pelatihan penanganan asfiksia atau bayi tidak menangis saat lahir dan tidak bisa bernapas spontan. Sasarannya adalah bidan dan dokter.
Selain konsultasi dengan petugas medis, kunjungan dari pintu ke pintu rumah ibu hamil pun dilakukan. ”Kami juga me lak sanakan program CFC (child food centre) dengan cara penyu luhan langsung ke rumah. Petugas gizi puskesmas memberikan makanan tambahan, didatangi setiap seminggu sekali,” kata Ika.
Upaya yang melibatkan berbagai la pisan tenaga kesehatan dan warga itu juga mengurangi kesalahpahaman antarinstasi. ”Terkait dengan AKIAKB, kami dulu selalu saja menyalahkan pela yanan prehospital (sebelum dibawa ke rumah sakit) yang jelek,” kata Atok yang pernah menjadi wakil direktur RSUD Sidoarjo.
RS juga ditata agar ruang persalinan dekat dengan instalasi gawat darurat (IGD). Tersedia ruang maternal neo natal emergency sehingga bayi-bayi dan ibu hamil yang dirujuk tidak kehilangan waktu dan langsung bisa di tangani IGD. RSUD juga menyiapkan sentra laktasi dengan komitmen bayi yang baru lahir langsung di beri ASI ibu. Kalau ada kesulitan memberikan ASI, akan dilakukan terapi.
”Kami juga berkomitmen untuk tidak memfasilitasi iklan serta produk susu formula masuk ke RSUD ini. Komitmen ini kami perkuat dengan membuat aturan di internal RSUD untuk melarang masuknya iklan serta seluruh produk susu formula tanpa pengecualian,” tegas Atok. (www.jpipnetwork.id)
Satu Kecamatan Tiga Puskesmas
BUPATI Saiful Ilah, bagaimana pencapaian penurunan AKI-AKB di Kabupaten Sidoarjo?
Untuk 2013, kami menargetkan penurunan AKI di bawah 96 orang/100.000 kelahiran hidup, realisasinya hanya 72 orang/100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, untuk target AKB, kami tetapkan di bawah 14 bayi/1.000 kelahiran hidup, realisasinya malah 8 bayi/1.000 kelahiran hidup. Alhamdulillah.
Apa yang menjadi strategi utamanya?
Kami berupaya, apa yang sudah dilakukan dinas kesehatan, puskesmas, kader kesehatan, bidan, hingga RSUD menjadi tersinergi sehingga pelayanan terhadap ibu dan bayi, sebelum maupun sesudah melahirkan, dapat dilakukan dengan maksimal. Visi saya ke depan, puskesmas sebagai ujung tom bak pelayanan kesehatan harus hadir lebih banyak.
Saat ini total ada 26 puskesmas dari 18 kecamatan di Sidoarjo. Kedepan, kami usahakan di setiap kecamatan minimal ada tiga puskesmas sehingga bisa menjangkau ke pelosok-pelosok desa. Kami juga meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan, baik bidan, perawat, maupun dokter. Melakukan optimalisasi kerja sama dengan berbagai organisasi kedokteran dan PMI. Tak lupa, mengajak keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam konteks pendampingan, pengaderan, serta motivator untuk kelas ibu hamil, kelas ASI, dan penyuluhan kesehatan umum lainnya.
Bagaimana dengan alokasi APBD?
Setiap tahun ada kenaikan anggaran program penurunan AKI-AKB. Untuk 2011, anggarannya Rp 383.475.800, 2012 sebesar Rp 693.000.000, 2013 sebesar Rp 703.090.000, dan 2014 mencapai Rp 1.190.715.050. Kami juga berupaya mendapat dana dari pemprov dan pemerintah pusat serta hibah atau bantuan dari luar negeri yang concern terhadap kesehatan ibu dan bayi.
Bagaimana menjaga kesinambungannya?
Keberlanjutan program sekarang harus tetap berjalan secara konsisten ke depan. Selanjutnya, kami mengembangkan alternatif-alternatif program baru dalam rangka mengakselerasi penurunan AKI-AKB lebih cepat lagi. Selain menambah puskesmas, kami akan meningkatkan ketersediaan fasilitas dan pelayanan di RSUD Sidoarjo. Dengan begitu, hal penanganan ibu dan bayi tidak perlu lagi merujuk ke Surabaya atau Malang. (www.jpipnetwork.id)
Arsip PDF :